Senin, 28 Juni 2010

Menyemai Islam Liberal Membungkam al Azhar

Pemerintahan AS berusaha menekan Mesir agar mengubah semua kurikulum
Universitas al-Azhar, pusat lahirnya gerakan Islam di dunia. Tak
lupa, berusaha menyemai wacana “Islam Liberal”. Adakah kesamaan
dengan Indonesia?

Pemerintahan Amerika, nampaknya tidak hanya berusaha menghancurkan
Afghanistan. Setelah Presiden Goerge W. Bush berusaha menekan
pemerintah Indonesia agar untuk menertibkan pondok pesantren dan
organisasi Islam, kini sikap berlebihan itu semakin diperlebar.
Campur tangan pemerintah AS ini, bahkan sudah kelewat batas.

Melalui tangan pemerintahan Mesir, AS kini sedang memberlakukan 10
peraturan sebagai persyaratan mendirikan masjid. Bahkan melakukan
intervensi yang lebih dalam; yakni berusaha merombak kurikulum
pendidikan Al Azhar. Sikap campur tangan Amerika terlihat setelah
beberapa kali kunjungan para petinggi AS ke Kairo beberapa waktu yang
lalu. Memang masih belum banyak yang diketahui publik hasil pertemuan
wakil dua pemerintah tersebut.

Beberapa waktu lalu, penasehat politik Presiden Husni Mubarak, DR.
Usamah al Baz dalam konferensi persnya seperti yang dikutip Quthb al
Arabi dalam Islam online. Dr. Usamah mengutuk upaya AS untuk
mengintervensi kuri kulum di Al Azhar yang gencar diupayakan oleh
para delegasi tersebut.

Mengapa Mesir begitu kuat tekanan kepadanya? Ada dua alasan, menurut
Quthb yang menyebabkan AS begitu getol menekan Mesir. Pertama, karena
Mesir merupakan negara Arab terbesar dan negara Muslim paling utama
di dunia yang menjadi tempat lahirnya banyak pergerakan Islam.
Melalui universitas dan pesantrennya, Al Azhar banyak menelorkan para
ulama dan fuqaha yang bermutu hingga kini. Upaya pemerintah AS
mengebiri Al Azhar sejak dulu, kini menemukan momentumnya setelah
kasus 11 September lalu. Kedua, Mesir merupakan tempat satu-satunya
di mana berdiri ribuan sekolah-sekolah agama yang menyebar di
sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk ratusan ribu masjid
yang menjalankan fungsi dakwah kepada Allah walau tekanan dan
intervensi pemerintah semakin menjadi-jadi.

Sejak lama intelijen Barat mengincar negeri Piramida yang merupakan
baro meter gerakan Islam di dunia ini. Media massa Barat tak henti-
hentinya menuduh Mesir sebagai tempat penyemaian benih-
benih “terorisme” dan meng ekspornya ke berbagai belahan bumi. Mesir
juga dituduh sebagai negeri yang kurang kooperatif untuk memerangi
kampanye perang melawan terorisme. Selain AS sendiri, tekanan
terhadap pergerakan Islam khususnya Ikhwan al Muslimun (IM) telah
sejak lama dilakukan pemerintah Husni Mubarak. Karenanya, mungkin ada
alasan yang tepat bagi AS dan Husni Mubarak untuk kembali melakukan
pemberangusan gerakan Islam yang melahirkan akar fundamentalisme
Islam. Salah satu upa ya AS diantaranya adalah terus-menerus
memasukkan wacana `Islam Liberal’ ke negeri Mesir.

Seorang pengamat politik terkemuka Mesir, Dr. Hamid Abdul Majid,
beberapa saat lalu pernah mengemukakan, tentang wacana `Islam
Liberal’ yang sedang digalakkan di Mesir. Bagi pemerintah AS, wacana
ini merupakan wacana alternatif yang dijajakan oleh AS di Mesir saat
ini.

Menurut Hamid, wacana ini kini sedang berpengaruh dan sedang yang
menjamur di Mesir. “Wacana Islam Li beral menjadi isu sentral untuk
melawan amal Islami di Mesir saat ini,” katanya seperti di kutip Al
Mujtama’. Untuk kepentingan Washington, pemerintah AS, berkeinginan
agar Islam lebih mematuhi perintah Amerika seperti halnya Islam yang
kehendaki Turki dan Pakistan. Kasus ini, Termasuk di Indonesia yang
disponsori Paramadina dan Jaringan Islam Liberal (IsLib). Konsepsi
inilah yang dipandang AS dan sekutunya amat sejalan dengan kebijakan-
kebijakan hegemonistiknya.

Walau sudah mulai berkembang, tapi Hamid, yang juga dosen Fisip
Universitas Kairo ini agak meragukan bahwa wacana ini akan
berimplikasi besar terhadap institusi pendidikan agama di Mesir.
Namun kendati demikian hal ini tidak akan berlangsung secara drastis
namun secara gradual. Dan konspirasi ini tidak akan mencabuti seluruh
aktifitas sosialnya secara sporadis tapi membiarkannya berjalan
secara natural namun dikontrol secara ketat. Adapun aspek politis dan
informatif, menurut pengamat ini merupakan sisi yang akan banyak
mendapatkan tekanan apalagi bila tidak kooperatif dengan politik
Amerika.

Namun secara umum, seluruh institusi pendidikan agama di Mesir dan Al
Azhar khususnya, akan terus menuai tekanan untuk merombak
kurikulumnya. Harap tahu, Al Azhar masih berada di bawah pengawasan
pemerintah Mesir.

Sampai beberapa tahun mendatang, pihak Washington akan terus berupaya
melakukan intervensi terhadap Kairo dengan berbagai cara. Apalagi
kondisi perekonomian Mesir yang sangat tergantung pada belas kasih
Barat. Pasca krisis Argentina lalu, juga ikut menyulut berbagai
gejolak di berbagai kawasan Mesir. Kondisi ini diperparah dengan
turunnya 25% harga mata uang Jeneh karena kebijakan pemerintah yang
salah. Faktor lain, tidak adanya independensi Bank Sentral yang
bertanggungjawab untuk meregulasi harga tukar uang. Majalah Al
Mujtama’ edisi No.1488, (9/2) lalu, akibat salah kebijakan itu, Mesir
kini mengalami peningkatan angka pengangguran 20%.
Apa yang bakal terjadi bila Mesir mampu dipecundangi pemerintahan
George W. Bush? Menurut Quth Al Arabi seperti ditulis Al Mujtama’,
kemungkinan besar, maka nasib Mesir tidak akan jauh berbeda dengan
Yaman yang memutuskan untuk menutupi semua pesantren-pesantren dan
sekolah berbau agama. Harap tahu saja, bukti patuhnya Yaman pada AS,
beberapa saat yang lalu, ada 40 mahasiswa Islam asal Indonesia yang
sedang belajar di Universitas Jama’ah Iman ditangkap.

Seperti halnya Yaman atau Turki, semua pesantren akan dijadikan
sekolah umum. Gejala ini hampir sama halnya dengan apa yang terjadi
di Pakistan dewasa ini. Dengan bantuan dana 100 juta dollar AS,
Pakistan meluncurkan program kontrol terhadap pesantren yang ditaksir
berjumlah 7 ribu pondok dan tersebar di seluruh wilayah negeri
pecahan India tersebut. Melalui lembaga pengawas (kalau di Indonesia
semacam Depdagri dan Depag), pemerintah akan mengawasi seluruh
kurikulum, termasuk berbagai jenis selebaran, tabloid, dan percetakan
milik pesantren. Kabarnya, Pakistan, bahkan, membentuk semacam
lembaga intelijen sendiri bernama Inter-Service Intelligence (ISI)
yang kerjanya hanya mengawasi pondok pesantren dan sekolah-sekolah
agama. Melalui lembaga ini, pemerintah Musharaf melatih orang-orang
tertentu untuk menyusup ke dalam pesantren dan sekolah-sekolah agama.
Dan sebagian dana dialokasikan untuk memasukkan materi baru “versi
Amerika” ke dalam semua kurikulum sekolah. Walau tidak 100 % sama,
tapi cara seperti ini hampir mirip dengan pekerjaan Bakin jaman LB.
Moerdani yang membuat lembaga serupa bernama Badan Koordinasi
Ketahanan Nasional (Bakorstanas) untuk mengawasi organisasi-
organisasi Islam di Indonesia.

Al Azhar dari Masa ke Masa

Universitas Al Azhar bermula dari sebuah masjid yang dibangun oleh
Jauhar Al Shaqali, seorang panglima perang pada Dinasti Fathimiyah,
pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H (970 M). Ketika itu, masjid Al
Azhar merupakan tempat dakwah. Tapi, ternyata dalam perkembangannya
semakin hari justru semakin besar. Sehingga berkembang menjadi sebuah
lembaga pendidikan. Ini berlangsung sampai pertengahan abad 21. Sejak
itu, Al Azhar berfungsi ganda; sebagai masjid dan pusat kegiatan
pendidikan Islam.
Al Azhar mengalam perubahan yang sangat mengagumkan dari tahun ke
tahun.

Pertama, perombakan dimulai pada tahun 1960-an dengan terbitnya
perundangan baru No. 103 dengan dalih mengembangkan lembaga ini. Di
mana dimasukkan pelajaran umum secara intensif yang berdampingan
dengan materi-materi agama. Juga seperti halnya berdirinya fakultas-
fakultas baru seperti Kedokteran, Teknik, Bisnis, Fisika, Pertanian.

Kedua, pada tahun 1980-an dimulai oleh pimpinan Pon-Pes Al Azhar,
Syeikh Al Wakil pada awal bulan Nopember 1989 dengan merubah ban yak
pelajaran. Seperti diwajibkannya murid Ibtidaiyah menghafal Al Qur’an
30 juz dari semula 20 juz. Di sekolah I’dadiyah (SMP) terjadi
pengurangan materi-materi agama seperti Hadits, Tajwid, dan Fiqh dan
ditambahnya materi umum. Dan jam pelajarannya juga dikurangi sehingga
perbandingannya menjadi, 13 jam materi agama dalam seminggu dan 21
jam untuk materi umum. Kondisi ini terus berlangsung hingga kini.

Ketiga, berlangsungnya penutupan sejumlah sekolah Al Azhar,
mempersulit konversi sekolah umum menjadi sekolah yang berafiliasi ke
Al Azhar. Sehingga tidak kurang dari 30 ribu murid Al Azhar pindah ke
sekolah umum dari berbagai tingkatan. Dan tidak cukup di sini,
berbagai peraturan diberlakukan untuk menekan agar Al Azhar tidak
dapat tumbuh secara natural. Bahkan ada pelarangan warga yang
mewakafkan tanah atau harta benda untuk Al Azhar.

Dan pertumbuhan Al Azhar mengalami banyak kemajuan di bawah pimpinan
Syeikh Jadul Haq Ali Jadul Haq sehingga Al Azhar tumbuh dari 600
pesantren pada tahun 1987 waktu menjabat hingga tumbuh menjadi 1500
pesantren yang dibangun pada tahun 1995. Jumlah pesantrennya kini
yaitu 10148 ponpes (7487 pesantren Ibtidaiyah, 1709 I’dadiyah dan 952
Tsanawiyah setingkat SMA). Dan jumlah muridnya yaitu : 222.567
pelajar. Tidak saja di Mesir bahkan di berbagai negara Islam, Al
Azhar berdiri seperti di Sinegal, Jibouti, Chad, Kenya, Negeria,
Pakistan dan Indonesia plus di lima negara Arab lainnya. Adapun
jumlah mahasiswa Al Azhar berjumlah 200 ribu mahasiswa dengan 52
fakultas.

Dengan jumlah yang begitu besar dapat dibayangkan berapa banyak para
ulama yang akan ditelorkan oleh lembaga tertua ini. Ini sebuah momok
bagi AS yang mengusung perang terhadap terorisme ini.

Dengan kondisi ini maka yang dapat diprediksi ke depan bahwa Al
Azhar, mini mal akan diembargo untuk tidak meluas dan bebas
mengembangkan sayapnya di mana-mana. Namun prediksi ini dianu lir
oleh berbagai pihak resmi Al Azhar. Syeikh AL Azhar, Dr.Sayed
Thantawi menegaskan bahwa misi institusi ini akan terus berlanjut
kendati berbagai persoalan yang terjadi. Tapi riak-riak kekhawatiran
ini nyaring juga terdengar seperti diungkapkan oleh Dr. Yahya Ismail,
dosen Tafsir dan Hadits. Diantaranya yang kelihatan, kata mantan
Sekjen Persatuan Ulama Al Azhar ini adalah mengurangi jam materi
agama. Sejak munculnya kampanye perang terhadap terorisme yang
dipropagandakan pemerintah AS, Al Azhar, merupakan celah yang paling
mujarab bagi AS.

Bila kampanye AS ini berhasil, tidak mustahil lembaga pendidikan
warisan dari dinasti Fathimiyah ini akan tinggal kenangan.* (Dumyathi
Bashori, Koresponden Majalah Al Mujtama’ Indonesia)



Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar