Tahukah Anda apa perintah Tuhan yang pertama kali kepada umat Islam melalui Nabi Muhammad? Perintah itu diulangi oleh Jibril Sang Pembawa Perintah sampai 3 (tiga) kali karena begitu pentingya. Ya, Anda benar. Perintah tersebut adalah untuk MEMBACA.
Seandainya saja umat Islam melaksanakan perintah Tuhan yang begitu penting ini maka sebenarnya umat Islam adalah umat yang paling literate, atau yang paling melek huruf dan yang paling berilmu dibandingkan umat-umat lain.
Ajaran Islam penuh dengan anjuran untuk belajar…belajar… dan belajar dan berpikir…berpikir…berpikir. Bahkan dalam suasana perang dimana dibutuhkan semua tenaga laki-laki yang sehat untuk ikut berperang Rasulullah masih juga menyatakan agar tidak semua orang ikut berperang tapi ada sebagian orang BELAJAR memperdalam ilmu. Bahkan Rasulullah yang tidak pernah pergi ke Cina menyatakan dalam hadistnya yang tersohor (meski ada yang menganggapnya sebagai hadist yang lemah) agar umatnya menuntut ilmu sampai ke China. Belajar sebenarnya merupakan NAFAS dari ajaran Islam.
Lantas mengapa saat ini justru umat Islam adalah umat yang terkebelakang, miskin, dan tak berilmu? Karena mereka hanya mengaku sebagai umat Islam tapi tidak melaksanakan perintah pertama Tuhan tersebut dan tidak paham dengan anjuran Rasulnya.
Coba perhatikan, berapa banyak umat Islam yang menjadikan MEMBACA sebagai aktivitas sehari-hari yang harus diperlakukan sebagai IBADAH sebagaimana kita memperlakukan SHOLAT, ZAKAT, DZIKIR, dll? Membaca tidak pernah dianggap sebagai suatu IBADAH. Membaca bahkan tidak dianggap sebagai PERINTAH atau AJARAN Islam. Ironis sekali.
Coba perhatikan negara kita. Berapa banyak kota besar di Indonesia yang memiliki perpustakaan besar dan modern yang merupakan cirri sebuah kota modern? Tidak banyak. Bahkan Jakarta sebagai ibukota negara dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta orang perpustakaannya tidak mencerminkan sebagai perpustakaan sebuah negara besar. Perpustakaan Kota Kinabalu di Malaysia jauh lebih besar, modern dan lengkap koleksinya. Jumlah kunjungan ke perpustakaan pusat di Jakarta hanya dikunjungi oleh rata-rata 200 orang sehari dan hanya 20% yang meminjam buku. Ini artinya MASYARAKAT KITA TIDAK MEMBACA.
Sekarang coba perhatikan apa yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Berapa banyak sekolah yang punya perpustakaan? Dari 250.000 sekolah yang ada di Indonesia mungkin hanya 5 % yang punya perpustakaan yang layak disebut sebagai perpustakaan. Dari yang punya perpustakaan, berapa banyak yang punya buku-buku bacaan selain buku paket? Dari sedikit sekolah yang punya perpustakaan dan buku-buku bacaan, berapa banyak yang punya program rutin MEMBACA di kelas? Hampir tidak ada. Ini artinya ANAK-ANAK KITA TIDAK MEMBACA DI SEKOLAH. Lantas bagaimana kita bisa mengaku sebagai umat Islam terbesar di dunia tapi tidak melaksanakan perintah Tuhan yang pertama tersebut?
Untuk menjadi bangsa yang ‘literate’ idealnya 1 koran dibaca 10 orang tapi di Indonesia 1 koran dibaca oleh 45 orang. Kita bahkan kalah dengan Srilanka dimana 1 koran dibaca oleh 38 orang dan di Filipina 1 koran dibaca oleh 30 orang.
Sekarang coba perhatikan apa yang terjadi di rumah-rumah kita. Berapa banyak keluarga muslim yang telah menjadikan MEMBACA sebagai kegiatan IBADAH yang sama pentingnya dengan sholat, mengaji, sedekah, puasa, dll.di rumah-rumah mereka?
Sekarang kegiatan utama keluarga muslim di rumah adalah menonton TV, dan bukannya membaca seperti yang diperintahkan oleh Allah. Budaya menonton telah membius keluarga kita. Statistik menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dipakai oleh anak-anak Indonesia menonton TV adalah 300 menit/hari. Bandingkan dengan anak-anak di Australia 150 mnt/hari, Amerika 100 mnt/hari, dan Kanada 60 mnt/hari.
Apa akibatnya jika bangsa kita tidak membaca? Kemunduran dan kemerosotan tentu saja. Berdasarkan hasil studi Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Crisis to Recovery“ tahun 1998, menunjukkan kemampuan membaca siswa kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya 51,7. Jauh dibandingkan dengan Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1) dan Filipina (52,6). Hasil studi ini membuktikan kepada kita bahwa membaca belum –kalau tidak mau dikatakan bukan– menjadi program yang integral dengan kurikulum sekolah. Apalagi menjadi budaya.
Hal ini juga bisa dilihat dari berbagai statistik tentang negara kita. Dalam world Competitiveness Scoreboard 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 59 dari 60 negara yang diteliti. Padalah Malaysia sudah berada di perinkat 28 dan India 39. Hal ini juga bisa dilihat dari catatan Human Development Index (HDI) kita yang terus merosot dari peringkat 104 (1995), ke 109 (2000), 110 (2002, dan 112 (2003). Belum cukupkah semua ini membuat kita sadar bahwa ada yang salah dari sistem pendidikan kita yang tidak memberi perhatian besar pada kegiatan membaca yang merupakan inti dari pendidikan?
Menurut para ahli, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup (itu sebabnya Allah menjadikannya sebagai Perintah Pertama, First Commandment, bagi umat Islam). Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Dengan kemampuan membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan membuka peluang kesuksesan hidup yang lebih baik. Farr (1984) menyebutkan "Reading is the heart of education". Seharusnya dalam Islam membudayakan membaca adalah sebuah ‘fardhu kifayah’ atau ‘social responsibility’ yang apabila tidak dilakukan akan menjadi dosa bersama.
Berdasarkan penelitian Baldridge (1987), manusia modern dituntut untuk membaca tidak kurang dari 840.000 kata per minggu. Kurang dari itu dianggap belum modern tentunya. Bayangkan jika umat Islam sama sekali tidak punya kegiatan membaca baik di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan.. Umat Islam jelas akan menjadi umat yang paling tertinggal dibandingkan umat-umat lain. Dan itu telah terjadi saat ini. Padahal Tuhan telah memerintahkan mereka untuk MEMBACA sejak pertama kali. Tak heran jika daya saing siswa dan bangsa kita selalu terpuruk karena kerampilan dasar bagi
Hal lain yang menyebabkan umat Islam mundur dan terkebelakang adalah karena ketidakmampuannya dalam menerjemahkan anjuran Rasul untuk belajar meski ke negeri China. Banyak umat Islam fanatik yang menganggap belajar pada umat non-muslim adalah terlarang dan buruk bagi umat Islam. Padahal jelas-jelas bahwa Rasul tidak menyatakan demikian.
Sebuah SDIT yang maju dan dikelola oleh para muslim kelas menengah dan rata-rata sarjana juga menolak ide untuk mengangkat seorang guru native speaker bahasa Inggris untuk mengajar bahasa Inggris di sekolah tersebut dengan alasan bahwa mengangkat guru non-muslim untuk mengajar mata pelajaran apa pun di sekolah Islam adalah ‘tidak sesuai’ dengan ajaran Islam! Anehnya, di luaran mereka mengursuskan anak-anak mereka di kursus yang ada native speakernya!
Belajar dari non-muslim bukan hanya boleh tapi bahkan DIANJURKAN. Siapa yang mengatakan demikian? Ya, Rasul sendiri. Jadi sebetulnya belajar Matematika, Fisika, bahasa Inggris, dll. pada guru non-muslim itu (meski sekolahnya adalah pesantren) adalah sesuai dengan semangat pendidikan dalam Islam yang diajarkan oleh Rasul sendiri. Yang absurd adalah jika memanggil guru non-muslim untuk mengajarkan mengaji, tata-cara sholat, dasar-dasar iman, dan sejenisnya kepada siswa-siswa Islam.
Melalui tulisan ini saya hendak kembali mensosialisasikan dan menggemakan kembali perintah tuhan kepada Rasulullah Muhammad SAW agar kita pahami dan amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari kita membaca setiap hari dan mari kita wajibkan anak-anak kita untuk membaca setiap hari sebagaimana kita memerintahkan mereka melakukan sholat lima waktu.
Bangsa kita telah gagal menjadikan membaca sebagai budaya sebagaimana bangsa-bangsa maju lainnya. Dan ini merupakan ancaman yang serius. Ini sudah merupakan ‘global threat’. Rendahnya Reading Literacy bangsa kita saat ini dan di masa depan akan membuat rendahnya daya saing bangsa dalam persaingan global. Hal ini akan menyebabkan tidak kompetitifnya SDM bangsa kita karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini adalah akibat lemahnya minat dan kemampuan membaca.
Jika kita mau melihat kebelakang pada masa Krisis Moneter Juli 1997 yang lalu. Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan Singapura, mampu mengatasi krisis ekonomi bangsanya relatif dalam waktu pendek hanya sekitar 2 – 3 tahun saja. Hal ini disebabkan karena mereka telah mempunyai SDM yang kompetitif, unggul, kreatif, dan siap menghadapi segala bentuk perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Bangsa Indonesia sampai saat ini belum juga bisa bangkit.
Apa sebab bangsa kita tidak mampu menguasai ilmu dan teknologi yang akan dapat membuat bangsa kita kompetitif, unggul dan kreatif? Itu karena Membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita barulah kita bisa menapak ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menjadi bangsa yang terpelajar, berilmu, kompetitif dan kreatif.
Mengapa hal ini saya anggap sebagai ancaman global yang sangat kritis? Karena untuk mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar 1 atau 2 generasi, tergantung dari “political will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun. Apakah kita punya keinginan untuk berubah dan waktu untuk itu? Jika kita gagal menjawab tantangan ini maka bangsa kita akan terus terpuruk menjadi negara dunia ketiga yang tidak akan mampu untuk bangkit.
Hanya satu tekad yang perlu kita canangkan pada diri kita yaitu : Membaca atau mati!
Balikpapan, 23 Januari 2009
Satria Dharma
Selasa, 23 Februari 2010
Islam dan Ilmu Pengetahuan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar