Senin, 23 November 2009

'Islam Liberal': Kritik Minus Solusi

Latar Belakang dan Motif

Kemunculan kelompok liberal dengan mengusung ide yang mereka namakan sebagai
Islam Liberal adalah sebuah fenomena baru di Indonesia karena dianggap
mendobrak kejumudan berpikir. Hal itu bisa dimengerti karena rata-rata
aktivisnya berlatar belakang tradisional, yang berorientasi ubudiyah dan
tradisi dogmatis, yang harus diikuti tanpa diskusi. Padahal aturan-aturan itu
sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan,
atau penindasan.


Di sisi lain, kalangan Islam revivialis, yang ingin menyelamatkan umat dengan
syariah sering bersikap simplistis, misal: menekankan syariah sekadar kewajiban
berjilbab pada Muslimah, atau hukum hudûd pada kasus pidana. Mereka jarang
mempunyai konsep yang komprehensif. Bahkan cita-cita memunculkan Islam seagai
rahmatan lil 'alamin kadang-kadang diwujudkan dengan kekerasan. Inilah trade
mark 'Islam radikal' yang menjadi salah satu pendorong sehingga Islam Liberal
bersuara lantang.

Dengan demikian, Islam Liberal dapat dilihat sebagai suatu reaksi atas latar
belakang kejumudan dan alternatif radikal yang miskin konsep. Ini bisa
dimengerti, namun tidak boleh dibiarkan.

Klaim Kosong: Liberalisasi Mendorong Kemajuan Islam

Kelompok liberal ini berpendapat, Islam itu semacam organisme dan bukan monumen
yang mati. Untuk itulah, realitas sejarah Islam pada masa awal membuka pintu
ijtihad yang mendorong kemajuan Islam serta membangun peradaban Islam yang
berkembang pesat.

Pendapat ini ada benarnya. Hanya saja, 'paradigma organisme' ini tidak boleh
jadi berhala baru, bila faktanya ada wilayah yang tidak memberikan kesempatan
ijtihad, karena sudah jelas (qath'i). Andai paradigma organisme ini terlalu
menonjol, Islam tidak akan tersisa lagi. Salat, puasa, atau haji bisa dianggap
aktivitas yang tidak relevan dengan pembebasan manusia dari keterpurukan.

Dalam kejumudannya, umat Islam di Indonesia memang kadang melakukan ritual yang
hanya budaya, tanpa dasar syar'i, seperti pakai kopiah, atau bahkan yang masuk
tahayul-bi'dah- khurafat. Inilah yang pantas dikaji ulang. Namun, bukan hal-hal
yang sebelum Islam bukan tradisi. Jilbab, misalnya, bukanlah tradisi Arab pada
masa Nabi saw. Kalau sekarang menjadi semacam tradisi, apa salahnya kalau Islam
yang mensyariahkan tradisi itu?

Konsep kelompok liberal tentang 'nilai-nilai universal' yang mewajibkan umat
Islam tidak memandang dirinya terpisah dari umat lain, seperti nilai
'kemanusiaan' atau 'keadilan', pada tataran praktis akan menemui jalan buntu.
Manusia di mana pun memang diciptakan Tuhan dengan berbagai sifat yang sama,
misal suka diperlakukan adil. Namun, bagaimana adil itu diciptakan tidak bisa
berhenti pada dataran filosofis; harus turun ke dataran yuridis (hukum), bahkan
di beberapa hal turun lagi ke dataran aritmetis (misalnya hitungan pajak atau
waris). Karena itu, usulan mengamendemen aturan yang membedakan

Muslim-non-Muslim (konon melanggar prinsip kesederajatan) , konsekuensinya salat
boleh diimami non-Muslim, atau yang agak kurang ritual, ya non-Muslim ikut
bayar zakat. Tentu banyak hal-hal yang lalu menjadi absurd.

Cita-cita agama urusan pribadi, sedangkan aturan publik ikut kesepakatan
masyarakat secara demokratis. Namun, realitasnya hal itu sering dilanggar
penganjurnya sendiri begitu Islam yang menang. Contohnya di Aljazair, Turki
dan Palestina. Ketika jilbab dikenakan Muslimah profesional secara sukarela,
yang mengemuka bukanlah kebebasan pribadi, tetapi kecurigaan atas
fundamentalisme/ terorisme.

Tentang Muhammad saw., benar kita tidak wajib mengikuti Beliau secara harfiah.
Dalam ushul fikih kita tahu, ada perbuatan Rasul yang jibilliyah, misalnya
makan, minum, dan tidur. Ada juga perbuatan Nabi saw. yang khas, tidak boleh
diikuti, misalnya menikah dengan sembilan istri. Namun, selebihnya adalah dalil
syar'i yang sifatnya bisa fardhu, mandub, atau mubah. Namun, Kelompok ini
mengge-neralisasi bahwa Islam yang dibawa Nabi saw. hanya salah satu jenis
Islam di muka bumi. Kalau begitu, Islam yang lain mencontoh siapa?

Tanpa Solusi

Kita setuju, misi utama Islam adalah menegakkan keadilan, terutama di bidang
politik dan ekonomi. Tentu ada syariah yang mengatur soal ini. Itu memang bukan
syariah jilbab, jenggot, atau hal-hal furu'iyah; tetapi syariah yang mengatur
kepemilikan, muamalah, sistem moneter, dan hubungan luar negeri. Namun, absurd
saat pengusung ide ini mengatakan upaya menegakkan syariah adalah ekspresi
ketidakberdayaan umat Islam, atau mengajukan syariah Islam adalah sebentuk
kemalasan berpikir.

Jika melihat 'habitat' penggagas ide ini dari kalangan yang jumud atau radikal
yang miskin konsep, pemahamannya adalah refleksi pengalamannya yang terbatas.
Faktanya, ada kelompok yang menegakkan syariah namun bukan sebagai wujud
ketidakberdayaan atau malas berpikir. Hizbut Tahrir, misalnya, banyak
menerbitkan buku tentang ide-ide pengentasan kemiskinan atau kezaliman secara
syariah.

Anehnya, mereka keberatan dengan pandangan bahwa syariah adalah suatu 'paket
lengkap' untuk menyelesaikan masalah di dunia di segala zaman. Ini mungkin
keterbatasannya memahami ideologi, sebagai ide dasar yang di atasnya dibangun
paket lengkap sistem solusi problematik manusia. Mestinya, mereka juga
mengkritik ideologi sekularisme, yang juga mengajukan paket solusi yang sama,
hanya atas dasar yang berbeda.

Memecah-belah Islam

Pada 12/6/2006 Media Indonesia memuat tulisan Saiful Mujani berjudul "Kelompok
Islam Anarkis". Tulisan bernada propaganda itu mendorong Pemerintah melarang
ormas-ormas Islam yang dicap anarkis. Insiden pengusiran Gus Dur di
Purwarkarta disebut sebagai latar belakangnya- meski ini cuma fitnah, dan telah
dibantah Gus Dur sendiri. Mereka menuduh lawan-lawannya sebagai anti Pancasila
dan membahayakan NKRI.

Aneh, dalam mengusung freedom of speech, di satu sisi mereka berani menghina
yang disucikan agama. Namun, saat orang lain menyuarakan syariah Islam, atau
membuat UU/Perda bersumberkan syariah Islam, langsung dituduh kontra Pancasila,
UUD 45, memecah-belah NKRI, dan tuduhan asal lainnya. Padahal tidak ada sila
Pancasila, pasal/ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariah
Islam. Fitnah ini dilontarkan kaum Islam Liberal untuk memecah-belah ajaran
Islam dan umat Islam.

Mengokohkan Kapitalisme

Mereka menuduh para pejuang syariah dan Khilafah akan menghancurkan NKRI.
Padahal jika mau jujur, justru pejuang syariah ini yang mengingatkan rakyat
negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka. Merekalah yang mengingatkan potensi
lepasnya Aceh saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki dan bahaya masuknya
militer asing berkedok bantuan kemanusiaan. Mereka juga yang memprotes lepasnya
Blok Cepu ke asing, dan UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini
tidak lagi memiliki "tanah-air". Sementara itu, atas semua kejadian itu,
kalangan Islam Liberal hanya berdiam diri.

Mereka malah menegaskan bahwa demokrasi yang benar adalah demokrasi seperti
diterapkan di negara-negara maju, jadi ukuran lembaga-lembaga internasional,
yang oleh pakar kontemporer disebut "demokrasi liberal". Bahkan Luthfi secara
khusus menyebut kata sifat yang menempel pada demokrasi (misal: "demokrasi
Islam") itu sebagai "demagogis". (Media Indonesia, 20/08/2006).

Kita perlu heran, mengapa mereka begitu "beriman" dengan demokrasi ala
negara-negara maju, ala AS, Israel dan PBB; padahal telah sangat jelas
kemunafikan negara atau lembaga ini. Atau memang demokrasi itu begitu?
Demokrasi AS adalah dari rakyat AS, oleh rakyat AS, untuk rakyat AS. Soal Irak
atau Palestina binasa, itu bukan topik penting. Yang jelas, aksi perang
melawan terorisme Bush sudah diamini oleh rakyat AS secara demokratis.

Buktinya, Bush terpilih kembali, dan diberi anggaran oleh Kongres AS.
Mereka juga menegaskan bahwa Islam yang menolak demokrasi adalah Islam yang
sempit, yang tidak mau berubah, selalu memposisikan dirinya bertentangan dengan
Barat, dipenuhi prasangka buruk tentang dunia modern, dan yang kelelahan karena
sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Sebaliknya, yang cocok dengan
demokrasi liberal adalah Islam Liberal.

Mengapa kalimat ini tidak ditujukan sebaliknya? Kalimat itu bisa
direformulasikan begini, "Demokrasi yang menolak Islam adalah demokasi yang
sempit, yang tak mau berubah, yang selalu memposisikan dirinya bertentangan
dengan Islam, dipenuhi prasangka buruk atas Dunia Islam, dan yang kelelahan
karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang Islam."

Ini faktanya lebih jelas. Saat ini ada negara adikuasa yang mendanai propaganda
liberalisme di Dunia Islam, termasuk membiayai LSM-LSM liberal, agar jadi
komprador mereka dalam mengeruk kekayaan negeri-negeri Islam.

Kesimpulan

Islam Liberal penuh kontradiksi. Di satu sisi mereka menuduh pihak lain
literalis. Namun, di sisi lain justru mereka literalis saat menyalahkan ide
negara yang konon menurut mereka tidak ada dalilnya dalam al-Quran. Di satu
sisi mereka menolak RUU APP dengan alasan ranah privat (padahal yang ingin
dilarang itu ketelanjangan di tempat umum). Akan tetapi, di sisi lain mereka
mendukung UU KDRT-padahal lebih privat.

Rupanya, jadi liberal itu mudah, tinggal konsisten pada satu hal saja:
inkonsistensi. Ibarat main bola, liberalisme adalah terjun ke piala dunia
sambil terus mengubah aturan main dan letak gawang.

Tidak aneh, jutaan orang yang hingga beberapa tahun lalu merasa tercerahkan
dengan Islam Liberal, kini merasa mengalami "kelelahan spiritual". Islam
Liberal tidak memuaskan akal maupun menenangkan secara emosional. Islam Liberal
tidak memberi solusi apa-apa, bagi persoalan pribadi maupun masyarakat.

Karena itu, juga tidak aneh, jika sekarang di kalangan kelas menengah ke atas,
kajian-kajian Islam non-liberal justru laku keras. Orang mencari lagi
spiritualitas yang mendukung etos kerja atau tasawuf yang membangkitkan, bukan
liberalisme yang berserah diri pada penjajah.

Mainstream Islam negeri ini adalah kembali pada "Islam tanpa kata sifat". Dari
Kongres Umat Islam Indonesia 2005, Fatwa MUI, Munas NU dan Muktamar
Muhammadiyah, semua mengikuti tren itu. Apakah itu berarti ada radikalisasi
Islam di Indonesia? Jika hal ini akan membuat kita lebih cepat menuju
terciptanya masyarakat yang adil, makmur, bermartabat dan benar-benar merdeka,
apa salahnya?

Oleh: Ust. Dr. Fahmi Amhar

Artikel Yang Berhubungan



1 komentar:

  1. Karena bagi mereka yang pasti hanyalah perubahan. Dan yang absolut hanyalah relativitas. Dari tulisan ini, saya jadi lebih paham dua kalimat di atas. Jazakumullah khairan ^ ^

    BalasHapus