Selasa, 07 Desember 2010

Hukum Melaksanakan Aqiqah

Kebanyakan ulama seperti Imam Malik, Syafi’iy, Ahmad dan Bukhari dan lain-lain berpendapat bahwa aqiqah tidak wajib akan tetapi sunnah mu’akkadah yang tidak patut ditinggalkan bagi orang yang mampu. Bahkan dengan tegas Imam Syafi’iy mengatakan tentang masalah hukum aqiqah, apakah termasuk Sunnah Nabi SAW atau bid’ah? Dan apakah hukumnya wajib atau sunnah mu’akkadah?
Imam Ahmad sering ditanya tentang hukum aqiqah apakah wajib? Beliau menjawab, “Tidak!! Akan tetapi barang siapa yang ingin menyembelih, maka hendaklah ia menyembelih.” Dalam kesempatan yang lain beliau pernah ditanya lagi apakah aqiqah itu wajib, lalu beliau menjawab, “Adapun tentang wajibnya (aqiqah) saya tidak mengetahuinya, (dan) saya tidak mengatakan bahwa aqiqah itu wajib.” Dan beliau pun beberapa kali dalam jawabannya tentang hukum aqiqah mengatakan bahwa sesuatu yang paling kuat tentang masalah aqiqah ini ialah hadits yang mengatakan bahwa ” anak itu tergadai dengan aqiqahnya”.
Dan dalil tentang tidak wajibnya aqiqah ditunjuki dari tiga jalan:
Pertama: Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang aqiqah di dalam hadits Abdullah bin Amr bin ‘Ash yang lalu di masalah kedua hadits keenam, ” Barang siapa yang suka/ingin menyembelih untuk anaknya, maka hendaklah dia menyembelih untuk anaknya….”
Di dalam hadits yang mulia ini Nabi SAW mengkaitkan dengan “keinginan yang maknanya, “Barangsiapa yang ingin meng’aqiqahkan anaknya hendaklah dia mengaqiqahkan dan barang siapa yang tidak ingin maka tidak ada dosa baginya..” Karena kaitan dengan keinginan menunjukkan diserahkannya pilihan kepada bapak, apakah dia akan aqiqahkan anaknya atau tidak terserah kepadanya. Hadits ini adalah sebesar-besar hadits yang menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib akan tetapi disukai atau sunat saja selain ditunjuki juga oleh jalan yang kedua di bawah ini:
Kedua: Fi’il beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengaqiqahkan anaknya yang bernama Ibrahim. Menurut penelitian Ibnu Hajar tidak dinukil dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengaqiqahkan anaknya (Fat-hul Baari’ kitab ‘aqiqah bab 1.)
Saya berkata: Ibrahim ini lahir jauh sesudah Hasan dan Husain. Padahal beliau mengaqiqahkan keduanya, kenapa terhadap Ibrahim beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengaqiqahkannya? Jawabannya: Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan kepada umatnya dengan fi’il (perbuatan) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aqiqah itu hukumnya tidak wajib selain dengan qaul (sabda) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas dan jalan yang ketiga di bawah ini:
Ketiga: Taqrir (persetujuan) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan sebagian Shahabat. Masih dalam penelitian Ibnu Hajar bahwa tidak dinukil dari Abu Musa dan Abu Thalhah bahwa keduanya mengaqiqahkan anaknya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberi nama kepada anak keduanya.
Setelah kita mengetahui ketiga jalan di atas yang menjadi hujjah bagi kebanyakan ulama bahwa aqiqah itu hukumnya tidak wajib, sekarang bagaimana dengan hadits Samurah bin Jundab bahwa setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama khususnya madzab Dawud Azh Zhahiriy untuk mewajibkan aqiqah? Jawabannya sebagaimana jawaban Imam Ahmad yang lalu bahwa hadits Samurah ini adalah hadits yang paling keras/kuat tentang permasalahan aqiqah yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meskipun demikian beliau tidak menjadikan hadits di atas untuk menetapkan bahwa aqiqah itu hukumnya wajib. Bahkan beliau menegaskan bahwa aqiqah itu hukumnya tidak wajib bersamaan dengan itu beliau pun tidak menyukai bagi orang yang mampu akan tetapi meninggalkannya dan tidak mengaqiqahkan anaknya. Sampai beliau pernah berfatwa bagi orang yang tidak mampu boleh dia meminjam (uang) untuk mengaqiqahkan anaknya demi menghidupkan salah satu Sunnah-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti apa-apa yang datang dari belaiu shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mudah-mudahan Allah SWT segera menggantikannya.
Keterangan Imam Ahmad di atas tentang hadits Samurah dan hukum melaksanakan aqiqah menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak sampai kepada hukum wajib akan tetapi hanya sampai pada hukum penekanan atau dengan kata lain sunnah mu’akkadah atau mengambil istilah Imam Malik sunnah waajibah.
Ibnu Qayyim menjelaskan yang dimaksud ialah sunnah mu’akkadah yang tidak disukai kalau ditinggalkan. Oleh karena itu mereka mengatakan, “Mandi Jum’at itu sunnah waajibah, udh-hiyah (qurban) itu sunnah waajibah dan aqiqah itu sunnah waajibah.” Ibnu Qayyim pun menegaskan bahwa tidak ada keterangan yang tegas dari Imam Malik tentang wajibnya aqiqah.

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar