Sabtu, 01 Mei 2010

Definisi Bid’ah

Kata bada’a menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada permisalan sebelumnya, disebutkan dalam firman Allah Ta ‘ah, “Allah pencipta langit dan bumi.” Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta keduanya tanpa ada permisalan sebelumnya. Juga disebutkan dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul’.” Hal ini juga mengandung arti, “Aku bukanlah rasul pertama yang diutus dengan membawa risalah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, akan tetapi aku telah didahului oleh para rasul sebelumnya.”

===============================================

Jika dikatakan, “Si Fulan membuat perkara yang baru (bid’ah).” Maka berarti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya. Atau kalimat, “Ini adalah perkara yang mengagumkan.” Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.

===============================================

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru dinamakan bid’ah, mengeluarkannya untuk dijadikan tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya dinamakan perbuatan bid’ah, dan bentuk dari perbuatan tersebut dinamakan bid’ah. Bahkan keilmuan yang dibentuk dari teori dan sisi tersebut dinamakan bid’ah.

===============================================

Telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa semua hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan seorang hamba terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Hukum yang mengandung arti perintah, yaitu untuk perkara yang wajib atau sunah.
2. Hukum yang mengandung arti larangan, yaitu untuk perkara yang dibenci atau diharamkan.
3. Hukum yang mengandung arti pilihan, yaitu untuk perkara yang mubah.

===============================================

Semua perbuatan dan perkataan seorang hamba tidak terlepas dari tiga bagian berikut ini:
1. Diharuskan untuk mengerjakannya
2. Diharuskan untuk meninggalkannya.
3. Diperbolehkan untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

===============================================

Bid’ah adalah sebuah istilah tentang tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat, dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya secara berlebihan, terutama dalam beribadah kepada Allah. Pendapat ini berdasarkan pendapat orang yang tidak memasukkan adat kebiasaan ke dalam kategori bid’ah dan hanya membatasinya pada permasalahan ibadah.

===============================================

Adapun pendapat orang yang memasukkan adat kebiasaan sebagai bid’ah, adalah, “Bid’ah adalah tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya, seperti yang dijalankan pada tata cara syariat.”

===============================================

Tatkala tata cara dalam agama terbagi-bagi —ada yang mempunyai sumber dalam syariat dan ada yang tidak mempunyai sumber dalam syariat— maka batasannya hanya dikhususkan pada bagian yang baru diciptakan saja. Maksudnya adalah tata cara yang baru dibuat dan tidak ada permisalan sebelumnya dari Dia yang membuat syariat (Allah).

===============================================

Dengan demikian, bid’ah dikhususkan dan tidak keluar dari sesuatu yang telah digambarkan oleh Dia yang membuat syariat. Sebab, dengan batasan tersebut maka tidak semua yang tebersit dalam benak bahwa peikara itu bam dan ada kaitannya dengan agama, disebut bid’ah, seperti ilmu nahwu, sharaf, mufradat (ilmu kosakata), ushul fikih, ushuluddin, dan semua ilmu yang menjadi penunjang keberhasilan dalam memahami syariat.

===============================================

Keilmuan tersebut, meski pada periode pertama tidak ditemukan, namun dasar-dasamya telah ada dalam syariat, seperti perintah untuk mempelajari i’rab Al Qur ‘an (menjabarkan Al Qur” an) yang diterima secara turun-temurun, serta ulumul lisan (ilmu yang berkenaan dengan tata cara berbicara yang baik) yang akan mengarahkan kepada hal yang benar dalam Al Qur* an dan Sunnah. Yang demikian itu adalah ilmu yang mengajarkan tentang ibadah dengan lafazh-lafazh yang telah disyariatkan agar dapat memahami dan tahu cara mengambil serta melakukannya.

===============================================

Sedangkan ushul fikih adalah penditian hukum secara global, sehingga para mujtahid dapat lebih mudah dalam meneliti dan memahaminya. Begitu juga dengan ushuluddin, ia adalah ilmu kalam yang isinya mencakup pengukuhan terhadap dalil-dalil Al Qur “an dan Sunnah, atau yang dibuat dari ilmu kalam itu sendiri yang berkaitan dengan ketauhidan serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya, sebagaimana ilmu fikih yang berfungsi sebagai pengukuh terhadap dalil-dalil yang berhubungan dengan cabang-cabang ibadah.

===============================================

Jika dikatakan: Bila penyusunannya dalam bentuk seperti yang disebutkan, maka dinamakan perkara yang baru.
Maka jawabannya.- Sesungguhnya semua ilmu tersebut memiliki dasar dalam syariat dan dikarenakan oleh dalil di dalam hadits. Jika tidak ada dalil yang menguatkan perkara tersebut secara khusus, maka hukum syariat secara umum telah mengakui keberadaannya,

===============================================

Adapun batasan kalimat “menyerupai syariat” adalah, lata cara yang menyerupai tata cara pelaksanaan syariat, padahal pada kenyataannya tidak demikian, bahkan bertentangan dengannya jika dilihat dari beberapa segi, antara lain:
1. Menentukan batasan-batasan, seperti orang yang bernazdar puasa sambil berdiri dan tidak duduk, berjemur dan tidak berteduh, mengkhususkan untuk memutuskan hubungan demi beribadah, serta
memilih-milih makanan dan pakaian tanpa ada sebab.
2. Melazimkan pada tata cara dan kondisi ibadah tertentu, seperti berdzikir dengan kondisi satu suara bersamaan dan menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari raya.
3. Berpegang teguh pada ibadah tertentu dan pada waktu tertentu, yang tidak ada ketetapannya dalam syariat, seperti berpegang teguh pada puasa Sya’ban dan menghidupkan malam harinya.

===============================================

Dari segi-segi penyerupaan terhadap hal-hal yang berbau agama, bid’ah amatlah sempurna, karena jika tidak menyerupai hal-hal yang disyariatkan tentu tidak dinamakan bid’ah dan hanya menjadi perbuatan biasa.

===============================================

Dirangkum dari Kitab Al-’Itisham, karya Imam Asy-Syathibi

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar