Ketika tercelanya bid’ah adalah suatu yang pasti, maka demikian pub dengan pelaku bid’ah, sebab bid’ah tidak saja bid’ah yang dianggap tercela, namun ketika ia diubah menjadi praktek, maka pelakunya pun sama tercelanya, bahkan pada hakikatnya pelakunyalah yang tercela. Pencelaan yang ada menunjukkan kekhususan dosa dan pelaku bid’ah-lah yang tercela serta berdosa
==========
1. Dalil-dalil yang ada apabila disebutkan secara tertulis, maka hal itu jelas. Seperti dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (Qs. Al An’aam [6]: 159)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas….” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 105)
==========
Dalam sabda Nabi SAW,
“Maka orang-orang dihalau dari telagaku.”
Juga dalil-dalil lainnya yang tertulis untuk para pelaku bid’ah. Apabila dalil yang tertulis berkenaan dengan bid’ah, maka maknanya akan kembali kepada pelakunya. Jika semuanya mencela mereka (pelaku bid’ah) maka semuanya menyatakan bahwa mereka melakukan dosa.
==========
2. Syariat telah menunjukkan bahwa yang menjadi pemicu awal seseorang mengerjakan bid’ah adalah hawa nafsu. Ialah yang menjadi pemeran utama, sedangkan dalil-dalil syar’i hanya mengikuti kehendak mereka. Oleh karena itu, mereka menakwilkan dalil yang menyalahi hawa nafsu mereka dan mengikuti hal-hal syubhat yang sesuai dengan tujuan mereka.
==========
mereka mendahulukan hawa nafsu dalam mencari syariat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya” (Qs. Al An’aam [6]: 159) Perpecahan yang disebutkan dalam ayat ini ditumpukan kepada mereka, karena jika perpecahan yang ada berdasarkan dalil yang jelas, maka hal itu tidak akan ditumpukan kepada mereka. Disamping itu, mereka juga suka berada dalam daerah yang mengundang celaan, perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang yang suka mengikuti hawa nafsu.
==========
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan lain itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An’aam [6]: 153) Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan jalan yang hak sebagai sesuatu yang jelas serta lurus dan melarang untuk menimbulkan perpecahan. Jalan yang jelas dan jalan yang bercabang dapat diketahui melalui kebiasaan yang sering dilakukan. Apabila terjadi kemiripan pada dalil-dalil; yaitu antara jalan yang hak dengan jalan yang bercabang, maka akan diketahui. Orang yang meninggalkan sesuatu yang jelas lalu mengikuti selain itu, berarti telah mengikuti hawa nafsu.
==========
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 105) Ini adalah bukti bahwa penjelasan pasti telah datang dan perpecahan datangnya dari orang-orang yang mengadakan perpecahan, bukan dari dalil. Jadi, perpecahan terjadi akibat ulah mereka yang mengikuti hawa nafsu. Bukti-bukti sepadan yang menerangkan bahwa para pelaku bid’ah mengikuti dorongan hawa nafsu mereka (sehingga tercela dan berdosa) sangatlah banyak,
==========
diantaranya firman Allah SWT berikut ini:
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dan Allah sedikitpun.” (Qs.Al Qashash [28]:50)
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat.” (Qs. Shaad [38]: 26)
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami serta mengikuti hawa nafsunya.” (Qs. Al Kahfi [18]:28).
==========
3. Para pelaku bid’ah pada umumnya mengatakan ungkapan baik dan buruk, inilah penyangga utama mereka dan kaidah yang mereka pakai untuk membangun syariat. Yang demikian ini adalah sesuatu yang utama pada aliran mereka; mereka tidak menuduh akal —yang berbuat kesalahan— namun terkadang mereka menuduh dalil-dalil yang secara zhahir tidak sesuai dengan mereka. Oleh karena itu, mereka banyak menolak dalil-dalil syariat.
==========
Mereka telah mendahulukan hawa nafsu —yang telah mendominasi akal daripada syariat, maka dalam sebagian hadits dan dalam isyarat-isyarat Al Qur’ an, mereka dinamakan “pengikut hawa nafsu”. Karena penamaan sesuatu dengan suatu yang memiliki dua makna atau lebih, maka yang dipakai adalah yang memiliki dua makna atau lebih. Itu lebih dominan daripada yang diberi nama. Dengan demikian orang yang memiliki sifat seperti ini secara jelas berdosa, karena landasannya dalam mengikuti pendapat adalah hawa nafsu.
==========
4. Sesungguhnya orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tidak akan pernah berbuat bid’ah. Namun bid’ah sering terjadi dari mereka yang tidak memiliki keilmuan mendalam tentang bid’ah yang mereka perbuat.
Sebenamya orang-orang yang melakukan bid’ah hanyalah mereka yang berangkat dari ketidaktahuan atau karena dianggap sebagai seorang ulama. Oleh karena itu, Ijtihad seseorang dilarang apabila tidak atau belum memenuhi syarat-syarat mujtahid dan ia masih tergolong awam. Ketika orang yang awam diharamkan untuk menneiti dan mengambil suatu kesimpulan hukum, maka begitu juga dengan orang yang hidup di antara dua zaman (salaf dan khalaf) yang masih banyak memiliki kebodohan atau ketidaktahuan. Apabila ia berani melakukan perbuatan yang diharamkan, maka ia termasuk orang yang melakukan dosa secara mutlak
==========
Namun ada sebuah catatan bagi para pelaku bid’ah dan pengikut hawa nafsu dalam bab ini, yaitu berkenaan dengan penggunaan dalil syariat untuk lafazh yang sering digunakan dalam adat kebiasaan yang terkadang terjadi kesalahan dan sikap menggampangkan dalam penggunaannya, sehingga orang yang tidak melakukan bid’ah dikatakan sebagai pelakunya, atau sebaliknya.
==========
Jumat, 07 Mei 2010
Sifat Bid’ah dan pelakunya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar