Jumat, 28 Mei 2010

khilafah

ASAS-ASAS SYARIAH

SISTEM KHILAFAH ISLAMIYAH

KUMPULAN DALIL SYARIAH

BEKAL PENGEMBAN DAKWAH

Judul Asli : Al Usus Asy Syar’iyah li Nizham Al Khilafah Al Islamiyah

Penulis : Tim Majalah Al Wa’ie (Edisi Bahasa Arab)

Penerbit : Majalah Al Wa’ie (Beirut), cetakan II, Syawal 1415 H, Maret

1995 M

Penerjemah : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Penyunting :

Penata Letak :

Buku ini adalah hadiah (bonus) dari majalah Al Wa’ie (edisi bahasa Arab) dalam rangka memperingati tiga perempat abad hancurnya negara Khilafah Islamiyah yang runtuh pada tanggal 27 Rajab 1342 H / 3 Maret 1924 M

DAFTAR ISI

1. Pengantar Penerjemah

1. Pengantar Majalah Al Wa’ie

1. Kewajiban Menjalankan Hukum Menurut Apa yang Diturunkan Allah

Kewajiban Berhukum Kepada Syariat Islam Semata

Kedaulatan di Tangan Syara’, Bukan di Tangan Rakyat

1. Mengikuti Syariat Akan Menghasilkan Kemuliaan, Petunjuk, dan

Keberuntungan

Menjauhi Syariat Akan Menimbulkan Kehinaan, Kesesatan, dan Penderitaan

1. Syariat Tidak Membolehkan Kaum Muslimin Hidup Tanpa Khalifah Sekejap Pun

Seorang Muslim Tidak Boleh Keluar dari Ketaatan Kepada Khalifah

-Ijma’ Shahabat, ridhwanullahi ‘alaihim

-Qaidah Ma La Yatimmul Wajibu Illa Bihi Fahuwa Wajib

-Kesepakatan Para Imam Madzhab, rahimahumullah

1. Kaum Muslimin Adalah Umat yang Satu

Kaum Muslimin Wajib Mempunyai Satu Negara di Bawah Kepemimpinan Khalifah yang Satu

-Umat Islam dalam Piagam Madinah

-Ukhuwah Hanya Karena Keislaman bukan Karena Kebangsaan dan

Tanah Air

-Jamaah Muslimin Ada dengan Adanya Imam Kaum Muslimin

-Keharaman Adanya Lebih dari Satu Negara Bagi Kaum Muslimin

-Kepemimpinan dalam Islam (dan dalam Kenyataannya) Hanya Ada

Bagi Satu Orang

1. Kekuasaan di Tangan Umat Islam

Kaum Muslimin Seluruhnya Mengemban Tanggung Jawab Menjaga dan Menerapkan Islam

-Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat

(Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin

-Khalifah Tidak Bertindak Secara Mutlak, Tetapi Dia Dibaiat Untuk

Menjalankan Al Kitab dan As Sunnah

-Mentaati Ulil Amri

-Tidak Ada Ketaatan Dalam Maksiat

-Mengawasi Ulil Amri

-Revolusi Bersenjata kepada Penguasa Yang Menampakkan

Kekufuran yang Nyata

8. Masalah Kaum Muslimin Saat Ini adalah Mendirikan Khilafah yang Menerapkan Islam Secara Sempurna dan Mengemban Risalah Islam ke Seluruh Dunia

PENGANTAR PENERJEMAH

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah terjemahan sebuah buku kecil berjudul Al Usus Asy Syar’iyah li Nizham Al Khilafah Al Islamiyah. Buku ini merupakan hadiah dari majalah Al Wa’ie edisi bahasa Arab bulan Maret 1995 (Syawal 1415 H) kepada para pembacanya di seluruh dunia dalam rangka memperingati tiga perempat abad runtuhnya Khilafah Islamiyah tahun 1924 (1342 H).

Buku tersebut memang kecil dan tipis, hanya 32 halaman. Akan tetapi layaknya sebuah hadiah, buku tersebut mengandung muatan isi yang pantas diingat dan bahkan harus ditancapkan dalam memori kita, yaitu kumpulan dalil-dalil syariah yang menjadi dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam kerangka negara Khilafah Islamiyah. Tentu saja pengetahuan tentang dalil-dalil syariah ini sangat penting bagi umat, agar mereka semakin menyadari bahwa keharusan untuk melanjutkan kehidupan Islam dalam negara Khilafah itu bukanlah karena romantisme masa lalu atau keinginan hawa nafsu, melainkan karena Allah semata, yaitu dilandaskan semata pada perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT, yang termaktub dalam Al Qur`an dan As Sunnah. Mengingat pentingnya isi buku itu, kami tergerak untuk menerjemahkannya agar faedahnya dapat tersebar merata kepada kaum muslimin, khususnya para pengemban dakwah yang menjadi tumpuan harapan umat.

Apa yang terdapat dalam buku kecil ini ? Buku ini berisi dalil-dalil syariah dari Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma` Shahabat mengenai garis-garis besar sistem Khilafah Islamiyah. Dalil-dalil itu dilengkapi dengan pendapat-pendapat shahabat, misalnya pendapat Ali Bin Abi Thalib, dan juga pendapat para imam madzhab yang terpercaya, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad, rahimahumullah. Terdapat 6 (enam) tema utama yang hendak diangkat dalam buku ini sebagai asas-asas syariah bagi sistem Khilafah, yaitu :

Pertama, Kewajiban berhukum kepada Syariat Islam semata,

Kedua, Mengikuti Syariat Islam akan menghasilkan rahmat dan sebaliknya menjauhi Syariat Islam akan menimbulkan kesesatan dan penderitaan,

Ketiga, Syariat Islam mewajibkan kaum muslimin untuk mengangkat seorang Khalifah dan tidak membolehkan mereka hidup tanpa khalifah sekejap pun,

Keempat, Kaum muslimin adalah umat yang satu di bawah kepemimpinan Khalifah yang satu,

Kelima, Kekuasaan di tangan umat Islam,

Keenam, Masalah kaum muslimin saat ini adalah mendirikan Khilafah untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia

Bagaimana memahami dalil-dalil yang terdapat dalam buku ini ? Memang benar, seperti yang akan pembaca temukan, dalil-dalil yang ada dalam buku ini dikemukakan apa adanya, dalam arti kebanyakan tidak diberi tafsir atau penjelasan (syarah) akan maknanya, baik makna secara bahasa (lughawi) pada kosakatanya, maupun makna syar’i dan juga istinbath hukumnya. Karena itu, kami mengajak kepada para pembaca yang budiman untuk memahami dalil-dalil tersebut melalui 2 (dua) cara, yaitu pemahaman global (ijmal) dan pemahaman rinci (tafshil). Pemahaman secara global dapat disimpulkan dari judul atau anak judul yang ada. Misalnya, judul yang berbunyi Mengikuti Syariat Akan Menghasilkan Kemuliaan, Petunjuk, dan Keberuntungan; Menjauhi Syariat Akan Menimbulkan Kehinaan, Kesesatan, dan Penderitaan, berarti merupakan makna utama yang hendak ditonjolkan yang merupakan kesimpulan umum dari sekian ayat yang terletak di bawah judul itu. Makna utama inilah kiranya yang harus ditangkap oleh para pembaca yang budiman.

Adapun untuk memperoleh pemahaman terinci (tafshil) dari dalil-dalil yang ada, tentunya para pembaca harus merujuk pada kitab-kitab tafsir, syarah hadits, atau kitab-kitab fiqih, khususnya fiqih siyasah. Misalnya hadits Nabi :

“Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Dalam buku ini tidak diuraikan pengertian baiat, baik makna bahasa maupun makna syara’. Juga tidak diuraikan apa yang dimaksud dengan “mati jahiliyah” bila seorang muslim hidup tanpa mempunyai baiat kepada seorang khalifah. Untuk mendapatkan keterangan tentang itu semua secara rinci, pembaca dapat merujuk, misalnya, pada kitab Syarah Shahih Muslim karya Imam An Nawawi, atau kitab Nizham Al Hukm fi Al Islam, karya Abdul Qadim Zallum dan Taqiyuddin An Nabhani, atau kitab Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam, karya Mahmud Abdul Majid Al Khalidi.

Satu hal yang perlu kami sampaikan pula kepada para pembaca, bahwa buku ini hanya menerangkan garis-garis besar tentang sistem Khilafah. Misalnya dalam judul Kekuasaan di Tangan Umat Islam…hanya diisyaratkan bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali jika telah dibaiat oleh kaum muslimin. Namun tentang perincian baiat tidaklah diuraikan, misalnya adanya baiat in’iqad dan bai’at tha’at, syarat-syarat baiat in’iqad, syarat-syarat pembaiat, jumlah orang yang membaiat, dan sebagainya. Maka dari itu, kami menganjurkan kepada para pembaca untuk mendapatkan rinciannya dalam berbagai literatur Islam lainnya, misalnya kitab Muqaddimah Ad Dustur, karya Taqiyuddin An Nabhani, atau kitab Nizham Al Hukm fi Al Islam, karya Abdul Qadim Zallum dan Taqiyuddin An Nabhani.

Walhasil, buku ini penting untuk umat Islam. Bagi para pengemban dakwah khususnya, buku ini lebih penting lagi, karena buku ini dapat menjadi sarana untuk lebih memantapkan hafalan dan pemahaman akan dalil-dalil syariah mengenai sistem Khilafah. Ke mana pun dan di mana pun mereka menyeru umat untuk melanjutkan kehidupan Islam, buku ini dapat menjadi sahabat setia yang bisa diandalkan. Sebagai wakil dari berbagai kitab yang tebal-tebal, buku kecil ini cukup praktis dan ekonomis bagi para pengemban dakwah. Memang, kepada merekalah terutama buku ini dipersembahkan !

Akhirnya, semoga buah karya yang sederhana ini dapat turut berperan serta dalam upaya membangun kesadaran umat dan menjadi satu batu bata dari bangunan negara Khilafah Islamiyah yang akan segera berdiri kembali dengan seizin Allah. Rabbana Anta Maulana Fanshurna ‘Alal Qaumil Kafirin !

Yogyakarta, September 2001 M

Jumadilakhir 1422 H

Penerjemah,

Muhammad Shiddiq Al Jawi

PENGANTAR MAJALAH AL WA’IE

Sejak hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1342 H (1924 M) nasib kaum muslimin menjadi lebih mengenaskan daripada nasib anak-anak yatim yang hadir pada jamuan makan orang-orang kikir.

Pada pagi hari tanggal 3 Maret 1924 itu, Mustafa Kamal –yang berdarah Yahudi, anggota Freemasonry, dan agen Inggris— telah menghancurkan Khilafah Islamiyah.

Pada saat itu seharusnya umat Islam wajib mengangkat senjata untuk menghadapi Mustafa Kamal –agen Inggris dan pengkhianat umat itu— yang telah mengubah Darul Islam menjadi Darul Kufur dan mewujudkan cita-cita tertinggi kaum kafir yang sudah lama mereka impikan. Akan tetapi sayangnya kaum muslimin waktu itu tidak mampu bergerak karena terbelenggu dalam segala urusannya serta tengah mengalami kemerosotan yang parah. Maka terjadilah tindak kejahatan tersebut dan kaum kafir yang sangat dengki kepada Islam pun akhirnya dapat mengokohkan cengkeramannya di negeri-negeri dan bangsa-bangsa Islam serta dapat memecah-belahnya dengan cara yang sangat kejam. Mereka memecah-belah umat Islam yang satu menjadi banyak negara berdasarkan kebangsaan, sifat primordial, dan ‘ashabiyah (fanatisme golongan). Kaum kafir mencerai-beraikan negeri-negeri Islam yang satu itu menjadi banyak negeri dan wilayah serta meletakkan batas-batas dan pemisah-pemisah di antaranya. Sebagai pengganti negara Khilafah Islamiyah, kaum kafir mendirikan puluhan negara boneka yang kerdil serta mengangkat para penguasanya di sana sebagai antek-antek untuk menjalankan instruksi-instruksi majikan mereka tersebut. Mereka menghapuskan Syariat Islam dalam aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Mereka memisahkan agama dari negara dan membatasi peran agama Islam hanya dalam sebagian aspek ibadah dan hukum-hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyah) seperti halnya agama Kristen. Mereka pun menghancurkan peradaban (hadharah) Islam dan mencabut pemikiran-pemikiran Islam untuk kemudian digantikan dengan peradaban dan pemikiran-pemikiran Barat.

Kaum kafir penjajah cukup berhasil dalam usaha mereka menyesatkan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari hakikat agama Islam. Mereka cukup berhasil pula dalam upayanya untuk memberikan kesan bagus pada berbagai persepsi, standar, dan moral dari peradaban Barat.

Akan tetapi hikmah (kebijaksanaan) Allah jua yang akhirnya tiba, dan kehendak-Nya jua yang akhirnya berkuasa. Allah SWT telah berkehendak agar umat Islam kembali sadar dan kembali bangkit dari keterpurukannya. Allah SWT pun berkehendak agar umat Islam menyadari bahwa mereka tidak akan terbebas kecuali dengan mendirikan kembali Khilafah Islamiyah yang lurus berdasarkan minhaj (jalan) kenabian.

Sesungguhnya asas terpenting dari asas-asas Islam –setelah Aqidah Islamiyah— tiada lain adalah keberadaan Khilafah Islamiyah. Mengapa ? Sebab tanpa Khilafah Islamiyah negeri-negeri Islam akan tetap terpecah-belah dan bangsa-bangsa muslim akan tetap tercerai-berai. Tanpa Khilafah Islamiyah negara-negara kafir imperialis akan tetap dapat menancapkan hegemoninya atas kita, merampok sumber daya alam kita, dan mengobarkan permusuhan di antara sesama kita. Tanpa Khilafah Islamiyah kaum Yahudi Israel akan tetap dapat menduduki tempat-tempat suci kita dan dapat terus melancarkan pembantaian dan penghinaan kepada kita. Tanpa Khilafah Islamiyah bangsa-bangsa muslim di Bosnia, Chechnya, Palestina, Lebanon, Kashmir, dan di tempat-tempat lain akan tetap dibunuhi, diusir, dirobohkan tempat-tempat ibadahnya, serta dilecehkan kehormatannya, tanpa ada satu pihak pun yang sudi mengulurkan pertolongan. Tanpa Khilafah Islamiyah, kaum muslimin yang tidak berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mendirikan kembali Khilafah, akan tetap bergelimang dalam dosa besar dan akan selalu mendapat murka Allah, meskipun mereka tetap berpuasa, mendirikan sholat, melaksanakan ibadah haji, dan menunaikan zakat.

Maka dari itu, berjuang untuk mendirikan Khilafah Islamiyah saat ini hukumnya telah menjadi fardhu ‘ain, yang harus dilaksanakan dengan mengerahkan daya upaya yang sebesar-besarnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Wahai kaum muslimin penuhilah seruan Tuhan kalian :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS Al Anfaal : 24)
Syawal 1415 H, Maret 1995 M
Majalah Al Wa’ie

KEWAJIBAN MENJALANKAN HUKUM MENURUT APA YANG DITURUNKAN ALLAH

KEWAJIBAN BERHUKUM KEPADA SYARIAT ISLAM SEMATA

KEDAULATAN DI TANGAN SYARA’, BUKAN DI TANGAN RAKYAT

Hal. 4

“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan agama kami ini apa yang tidak berasal daripadanya, maka ia tertolak.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

hal.5

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal sehasta-hasta, hingga kalau mereka masuk ke liang biawak pun, kalian akan tetap mengikuti mereka. Kami (para shahabat) bertanya,’Wahai Rasulullah (apakah mereka itu) orang Yahudi dan Nashara?’ Rasulullah menjawab,’Lalu siapa lagi?’ (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata,”Bagaimana mungkin kamu bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu padahal kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah adalah lebih baru. Kalian membacanya dalam keadaan murni dan tidak tercemar.” (HR. Al Bukhari)

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau melihat Umar bin Khaththab memegang sepotong lembaran dari kitab Taurat yang sedang dilihatnya. Maka bersabdalah Nabi SAW,”Bukankah aku telah membawa lembaran yang putih bersih (Al Qur`an) ? Kalau sekiranya saudaraku Musa bertemu denganku, niscaya dia tidak akan melakukan apa-apa kecuali mengikutiku.” (HR. Ahmad, Al Bazzar, dan Ibnu Abi Syaibah)

Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa ‘Adi bin Hatim Ath Tha`i –sebelum masuk Islam— pernah masuk ke rumah Rasulullah SAW sedang beliau sedang membaca ayat :

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (QS At Taubah : 31)

Maka berkatalah ‘Adi bin Hatim,”Sesungguhnya mereka tidaklah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.” Lalu berkatalah Rasulullah,”Tidak demikian, sesungguhnya mereka telah mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram bagi mereka, lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani itu mengikuti mereka. Itulah yang dimaksud dengan ibadah (penyembahan) mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.”

MENGIKUTI SYARIAT AKAN MENGHASILKAN KEMULIAAN, PETUNJUK, DAN KEBERUNTUNGAN

MENJAUHI SYARIAT AKAN MENIMBULKAN KEHINAAN, KESESATAN, DAN PENDERITAAN

hal. 9

“Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan pernah tersesat selamanya, yaitu suatu perkara yang jelas, Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Sirah Ibnu Hisyam)

Hal.10

“Kemudian daripada itu, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim, Ahmad, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

“Sebuah had (sanksi hukum) yang diamalkan di bumi lebih baik bagi penduduk bumi daripada diturunkan hujan kepada mereka selama empat puluh pagi.” (HR. An Nasa`i dan Ibnu Majah)

“Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena amal perbuatan individu jika masyarakat umum mampu mengubah (kemungkaran) individu. Jika masyarakat umum tidak mengubah (kemungkaran) individu, maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan individu.” (HR. Ahmad, dan Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir)

SYARIAT TIDAK MEMBOLEHKAN KAUM MUSLIMIN HIDUP TANPA KHALIFAH SEKEJAP PUN

SEORANG MUSLIM TIDAK BOLEH KELUAR DARI KETAATAN KEPADA KHALIFAH

hal.11

“Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dengan tidak mempunyai hujjah (alasan). Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah lalu mati, maka maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

hal.12

“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah bagaikan perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim)

“Dahulu Bani Israil dipimpin dan dipelihara segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan ada para Khalifah dan mereka akan banyak jumlahnya. Mereka (para shahabat) bertanya,’Lalu apa yang Engkau perintahkan kepada kami?’ Nabi SAW menjawab,’Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka tentang urusan yang harus mereka pelihara.” (HR. Muslim)

Ijma’ Shahabat, ridhwanullahi ‘alaihim

Sungguh para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim telah berijma’ (bersepakat) mengenai keharusan mengangkat seorang khalifah sebagai pengganti Rasulullah setelah kewafatannya. Dan mereka pun telah berijma’ mengenai pengangkatan khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, radhiyallahun’anhum.

Sungguh para shahabat telah berijma’ mengenai aktivitas pembaiatan khalifah dengan segera begitu wafatnya khalifah terdahulu.

Sungguh para shahabat telah berijma’ bahwa kaum muslimin tidak dihalalkan untuk berdiam lebih dari tiga hari tanpa khalifah. Yang demikian itu terjadi ketika Khalifah Umar bin Khaththab ditikam, beliau mencalonkan enam orang untuk memegang kepemimpinan Khilafah dan menetapkan batas waktu bagi mereka selama tiga hari untuk membaiat salah seorang dari mereka. Umar juga memerintahkan mereka untuk membunuh orang yang tidak sepakat dan mewakilkan hal ini kepada lima puluh orang untuk melaksanakannya. Semua ini dilihat dan didengarkan oleh para shahabat yang tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.

Hal. 13

Qaidah Ma La Yatimmul Wajibu Illa Bihi Fahuwa Wajib

Qaidah syar’iyah menetapkan bahwa :

“Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat sempurna dilaksanakan, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Kaidah ini mengharuskan adanya Khalifah, sebab menegakkan agama dan melaksanakan hukum-hukum syara’ … tidak akan dapat sempurna terwujud kecuali dengan adanya khalifah.

Kesepakatan Para Imam Madzhab, rahimahumullah

Syaikh Abdurrhaman Al Jaziri, pengarang kitab Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, juz V halaman 416, mengatakan :

“Telah sepakat para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) rahimahullah ta’ala bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam untuk menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzaliminya. (Mereka bersepakat pula) bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua orang Imam, baik keduanya bersepakat maupun bertentangan.”

Hal. 14

Imam Ali karamallahu wajhahu berkata,”Bahwasanya manusia haruslah mempunyai seorang pemimpin, entah yang baik atau yang jahat, di mana seorang mu`min dapat berkarya dalam pemerintahannya, seorang kafir dapat hidup tenteram, Allah di dalamnya dapat mewujudkan kehendak-Nya. Dengan pemimpin itulah fai` dihimpun, musuh diperangi, dan jalan-jalan diamankan. Dengannya hak orang lemah diambil dari orang kuat dan diberikan kepada orang lemah itu, hingga orang baik akan puas dan orang yang jahat akan dipaksa puas.” (Nahjul Balaghah, Juz I halaman 91)

Hal. 15

KAUM MUSLIMIN ADALAH UMAT YANG SATU

KAUM MUSLIMIN WAJIB MEMPUNYAI SATU NEGARA DI BAWAH KEPEMIMPINAN KHALIFAH YANG SATU

Hal. 16
Umat Islam dalam Piagam Madinah

Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah sebuah kitab (perjanjian) antara Muhammad, Nabi SAW, antara orang-orang mu`min dan muslim dari Qurays dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka dan menyusul mereka, seta berjihad bersama mereka. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, berbeda dengan manusia lainnya…dan bahwa orang-orang mu`min tidaklah meninggalkan sesuatu yang memberatkan dengan utang yang banyak dan tanggungan keluarga di antara mereka, mereka memberikan kepadanya dengan ma’ruf dalam tebusan dan diyat. Seorang mu`min tidak dibenarkan bersekutu dengan maula mu`min untuk melawan selainnya, dan bahwa orang-orang mu`min yang bertaqwa (berhak melawan) atas orang yang membangkang di antara mereka, atau orang yang menghendaki tersebarnya (?) kezaliman atau dosa atau permusuhan, atau kerusakan di antara orang-orang mu`min, dan bahwa tangan-tangan mereka atasnya semuanya walaupun ia anak salah seorang mereka…bahwasanya orang-orang mu`min sebahagian mereka adalah penolong sebahagian lainnya, bukan dengan selain mereka…dan bahwa keselamatan/kedamaian orag-orang mu`min adalah satu, seorang mu`min tidak diserahkan tanpa mu`min lainnya dalam perang di jalan Allah, kecuali dilakukan secara sama dan adil di antara mereka…dan bahwa seorang mu`min yang menyetujui apa yang ada dalam lembaran (perjanjian) ini, dan beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak halal untuk menolong orang yang berbuat kejahatan, tidak halal pula membantunya…dan sesungguhnya kalian jika berbeda pendapat mengenai sesuatu hal maka tempat kembalinya adalah kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada Muhammad SAW (Sirah Ibnu Hisyam, Juz II halaman 106)

hal. 17

Ukhuwah Hanya Karena Keislaman bukan Karena Kebangsaan dan Tanah Air

“Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling memarahi, dan saling menjauhi. Janganlah sebagian kalian membeli apa yang telah dibeli sebagian lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara seorang muslim (yang lain), dia tidak boleh menzaliminya, menghinakannya, dan merendahkannya. Taqwa ada di sini –dan Nabi memberi isyarat ke arah dadanya tiga kali—cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim (lainnya) adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

“Perumpamaan orang-orang mu`min dalam hal saling menyayangi, saling mencintai, dan salingmengasihi di antara mereka, adalah seperti tubuh (yang satu). Jika satu anggotanya merasa sakit, maka anggota tubuh lainnya akan merasa demam dan tidak bisa tidur.” (HR Muslim dan Ahmad)

“Kaum muslimin darah-darah mereka adalah saling menanggung, perlindungan mereka mencapai orang yang paling rendah di antara mereka, yang akan menjangkau orang yang paling jauh dari mereka, dan mereka adalah ibarat satu tangan dengan orang yang selain mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dalam nash-nash syara’ terdapat ungkapan “umat Muhammad”, “umatku”, dan juga ungkapan “umatmu”, serta ungkapan “umat kalian”. Artinya adalah, sikap kaum kaum muslimin dalam mengikuti (ittiba’) Rasulullah SAW, merupakan faktor yang menjadikan mereka sebagai umat yang satu (ummatan wahidah)

Hal. 18
Jamaah Muslimin Ada dengan Adanya Imam Kaum Muslimin

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah lalu mati, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. Barangsiapa berperang di bawah bendera ‘ummiyah (kejahiliyahan), marah karena membela satu golongan atau menyeru kepada satu golongan, atau menolong satu golongan lalu dia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah. Barangsiapa keluar dari umatku dengan memukul orang yang baiknya dan jahatnya, dan orang mu`minnya tidak saling menjaga, dan orang yang mempunyai perjanjian tidak memenuhi janjinya, maka dia tidak termasuk golonganku dan aku pn nbukan termasuk golonganya.” (HR. Muslim, Ahmad, dan An Nasa`i)

Nabi SAW bersabda untuk menjawab pertanyaan Hudzaifah bi Al Yaman ketika Nabi ditanya bagaimana Hudzaifah harus berbuat pada jaman yang buruk dan tatkala munculnya kelompok-kelompok yang buruk,” Tetaplah berpegang dengan jamaah kaum muslimin.” Aku (Hudzaifah) kemudian bertanya,”Lalu bagaimana jika mereka tidak lagi mempunyai jamaah dan juga imam ?” Nabi Saw menjawab,”Jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya (yaitu kelompok yang menyeru kepada pintu Jahanam).“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam An Nawawi –rahimahullah– telah memberikan syarah (penjelasan) ringkas terhadap hadits-hadits ini dengan mengatakan :

“Wajib hukumnya untuk tetap menetapi jamaah kaum muslimin pada saat munculnya fitnah-fitnah dan (juga) dalam segala keadaan. Haram hukumnya keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah.”

Hal. 19
Keharaman Adanya Lebih dari Satu Negara Bagi Kaum Muslimin

“Barangsiapa membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah dia mentaatinya semampu-mampunya. Maka jika datang orang lain yang hendak mencabut (kekuasaan)nya, penggallah leher orang lain itu.” Perawi hadits, yaitu Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash mengatakan,”Kedua telingaku telah mendengarnya sendiri dari Rasulullah Saw dan hatiku pun telah menghayatinya.” (HR. Muslim)

“Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang Khalifah), dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan menceraiberaikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)

“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” Mereka (para shahaba) bertanya,”Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami ?” Nabi SAW menjawab,”Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama itu saja, berikanlah kepada mereka hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka mengenai apa yang harus mereka pelihara.” (HR. Muslim)

hal.. 20

Kepemimpinan dalam Islam (dan Dalam Kenyataannya) Hanya Ada Bagi Satu Orang

Seluruh perbuatan Rasulullah SAW (dalam masalah kepemimpinan) menunjukkan bahwa beliau menetapkan kepemimpinan dalam satu perkara untuk satu orang.

Para shahabat pun telah berijma’ bahwa kepemimpinan tidak diberikan kecuali kepada satu orang. Para shahabat pun telah melaksanakan prinsip ini secara praktis.

“Jika tiga orang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin (amir) mereka.” (HR. Abu Dawud)

“Tidak halal bagi tiga orang dalam satu tanah lapang di muka bumi, kecuali mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin mereka.” (HR. Ahmad)

Kami kutip kembali apa yang ditetapkan dalam kitab Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib
Al Arba’ah Juz V halaman 416, karya Abdurrahman Al Jaziri :

“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) untuk menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzaliminya. (Mereka bersepakat pula) bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.”

Imam An Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim Juz XII halaman 232 menayatakan bahwa :

“Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh diangkat dua orang Khalifah pada satu masa (yang sama) baik ketika wilayah Darul Islam luas maupun tidak.”

Hal.21

KEKUASAAN DI TANGAN UMAT ISLAM

KAUM MUSLIMIN SELURUHNYA MENGEMBAN TANGGUNG JAWAB MENJAGA DAN MENERAPKAN ISLAM

Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin

“Barangsiapa membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah dia mentaatinya semampu-mampunya.” (HR. Muslim)

”Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama itu saja.” (HR. Muslim)

“Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)

Ijma’ Shahabat telah terwujud dalam hal bahwa seseorang tidak akan dapat memegang kekuasaan Khilafah kecuali bila diangkat (dibaiat) oleh kaum muslimin untuk memegang kekuasaan Khilafah tersebut. Setiap khalifah dari Al Khulafa` Ar Rasyidin mendapat kekuasaan (sebagai khalifah) dengan jalan baiat. Istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar bin Khaththab terjadi berdasarkan tafwidh (perwakilan/penyerahan urusan) dari para shahabat kepada Abu Bakar. Setelah istikhlaf, kaum muslimin tetap membaiat Umar bin Khaththab.

Hal. 22

Imam Ali bin Abi Thalib berkata :

“Sungguh, jika Imamah tidak terwujud sampai dihadiri oleh umumnya manusia, maka tidak ada jalan menuju ke sana (jabatan khalifah). Tetapi orang yang berhak atas Imamah itu (yang hadir), (jika) mereka memutuskan(nya) berlakulah itu pula bagi orang yang tidak hadir. Kemudian orang yang hadir tidak berhak lagi menarik keputusannya dan orang yang tidak hadir tidak berhak memilih.” (Nahjul Balaghah, Juz II halaman 86)

Imam Ali bin Abi Thalib berkata :

“Sesungguhnya telah membaiatku orang-orang yang pernah membaiat Abu Bakar, Umar, dan Utsman untuk melaksanakan apa yang menjadi objek baiat mereka (yaitu melaksanakan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya). Maka orang yang hadir (setelah itu) tidak berhak memilih dan orang yang tidak hadir tidak berhak menolak. Sesungguhnya syura adalah hak kaum Muhajirin dan Anshar. Jika mereka berkumpul untuk (membaiat) seseorang dan mereka namakan dia Imam, maka Allah akan meridhainya. Jika ada seseorang yang keluar dari keputusan mereka itu dengan tikaman atau bid’ah, maka mereka harus mengembalikannya kepada perkara yang menyebabkan ia keluar dari keputusan itu. Jika dia menolak, mereka akan memerangi orang itu atas perbuatannya mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman dan Allah pun membiarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu.” (Nahjul Balaghah, Juz III, halaman 7)

hal. 22-23

Dalam kitab Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah Juz V halaman 417, karya Abdurrahman Al Jaziri disebutkan :

“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) sepakat bahwa aqad Imamah (Khilafah) akan terwujud dengan baiat Ahlul Halli wal ‘Aqdi dari para ulama, pemimpin, dan pemuka masyarakat yang mudah untuk dikumpulkan tanpa mensyaratkan jumlah tertentu. Disyaratkan bagi orang yang membaiat Imam harus memenuhi kriteria seorang saksi seperti sifat adil dan sebagainya. Demikan pula aqad Imamah terwujud dengan istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Imam (Khalifah) kepada seseorang yang ditetapkan Imam itu pada saat hidupnya untuk menjadi Khalifah atas kaum muslimin setelah wafatnya Imam tersebut.”

Perhatian :

Istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar terjadi atas dasar tafwidh (perwakilan/penyerahan urusan) dari para shahabat yang merupakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Demikian pula istikhlaf yang dilakukan oleh Umar kepada enam orang, juga berdasarkan tafwidh dari para shahabat. Dengan demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan baiat Ahlul Halli wal ‘Aqdi.

hal. 23

Khalifah Tidak Bertindak Secara Mutlak, Tetapi Dia Dibaiat Untuk Menjalankan Al Kitab dan As Sunnah

Hal. 24

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA bahwa Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman, Rasulullah SAW bersabda,”Bagaimana kamu akan bertindak jika diajukan kepadamu suatu perkara?” Mu’adz menjawab,”Aku akan memutuskan dengan apa yang ada dalam Kitabullah.” Rasulullah SAW bertanya,”Lalu bagaimana jika tidak terdapat dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab,”Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi,” Lalu bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab,”Aku akan berijtihad dan sungguh aku tidak akan lalai.” Mu’adz berkata,”Kemudian Rasulullah menepuk dadaku lalu berkata,’Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah pada apa yang membuat ridha Rasulullah.” (HR. Ahmad, abu Dawud, dan At Tirmidzi)

Ketika Abdurrahman bin Auf menyeru kepada Ali dan Utsman untuk dibaiat, dia berkata kepada keduanya mewakili kaum muslimin,”Bersediakan Anda saya baiat untuk menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta apa yang menjadi keputusan dua orang syaikh terdahulu (yaitu Abu Bakar dan Umar)?”

Mentaati Ulil Amri

Hal. 25

“Barangsiapa mentaatiku maka sungguh dia telah mentaati Allah, dan barangsiapa mendurhakaiku (tidak mentaatiku) maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah. Dan barangsiapa mentaati pemimpin(nya), maka sungguh dia telah mentaatiku, dan barangsiapa mendurhakai pemimpin(nya), maka sungguh dia telah mendurhakaiku.” (HR. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda pada saat berkhutbah pada Haji Wada’ :

“Jika memerintah kepada kalian seorang budak yang cacat/terpotong anggota tubuhnya dan berkulit hitam, dia memimpin kalian berdasarkan Kitabullah, maka dengarlah dan taatilah dia.” (HR. Muslim)

“Kamu wajib untuk mendengar dan mentaati (pemimpinmu) dalam kemudahan atau kesulitan kamu, dalam hal yang kamu senangi dan kamu benci, serta dalam keaadaan kamu tidak diutamakan.” (HR. Muslim)

Tidak Ada Ketaatan Dalam Maksiat

“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan mentaati (pemimpinnya) pada apa yang dia sukai dan yang dia benci, kecuali kalau dia diperintahkan berbuat maksiat (sesuatu yang menyalahi syariat). Jika dia diperintahkan berbuat maksiat maka tidak perlu mendengar dan mentaati (pemimpinnya).” (HR. Muslim)

“Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah pada perkara yang ma’ruf (sesuai dengan syariat).” (HR. Muslim)

Abu Bakar RA ketika dibaiat sebagai Khalifah berkata :

“Taatlah kalian kepadaku selama aku mentaati Allah di tengah-tengah kalian. Jika aku maksiat (tidak taat) kepada Allah, maka tak ada kewajiban mentaatiku atas kalian.”

Hal. 26
Mengawasi Ulil Amri

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran (sesuatu yang menyalahi syariat) maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya. Jika dia tetap tidak mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian harus benar-benar memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, atau (kalau tidak) Allah akan segera mengirimkan azab kepada kalian dari sisi-Nya lalu kalian berdoa kepada-Nya tetapi doa kalian itu tidak dikabulkan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

“Seutama-utama jihad adalah (menyampaikan) kalimat yang haq di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

“Penghulu para syuhada (di surga) adalah Hamzah bin Abdil Muthalib, dan seseorang yang berdiri di hadapan seorang Imam yang zalim, kemudian dia memerintahkan kepadanya (yang ma’ruf) dan melarangnya (dari yang mungkar), lalu Imam itu membunuhnya.” (HR. Al Hakim)

Perintah kepada yang ma’ruf dan larangan dari yang mungkar ini tiada lain adalah pengawasan/kontrol/kritik (muhasabah) kepada para penguasa. Ini adalah satu kewajiban di antara kewajiban-kewajiban yang hukumnya fardhu kifayah. Pelaksanaannya adalah dengan hati, lidah (perkataan), dan tangan (kekuatan fisik), namun pengawasan dengan tangan ini disyaratkan tidak boleh menggunakan senjata.

Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah telah melakukan muhasabah kepada Rasulullah SAW pada Perang Khandaq dan kemudian Rasulullah mengikuti pendapat keduanya. Al Hubbab bin Al Mundzir pada Perang Badar juga melakukan muhasabah kepada Rasulullah kemudian Rasulullah pun mengikuti pendapatnya. Umar bin Khaththab dan sejumlah shahabat juga pernah melakukan muhasabah kepada Rasulullah pada saat Perjanjian Hudaibiyah namun Rasulullah tidak mengikuti pendapat mereka (Sirah Ibnu Hisyam).

Seorang perempuan pernah melakukan muhasabah kepada Umar bin Khaththab dalam masalah pembatasan mahar (yang dilakukan Umar). Berkatalah Umar,”Perempuan itu benar dan Umar telah salah (Lihat tafsir surat An Nisaa` ayat 20 dalam Tafsir Al Qurthubi dan tafsir Ibnu Katsir)

Imam Ali RA berkata, “Janganlah kamu menolak perkataan yang haq atau pertimbangan pendapat yang adil. Sesungguhnya aku bukanlah orang yang terlepas dari kekeliruan dan aku pun tidak merasa aman dari kekeliruan perbuatanku, kecuali jika Allah telah mencukupkan jiwaku dengan apa yang dapat aku kuasai dariku (yaitu kebenaran).” (Nahjul Balaghah, Juz II, halaman 201)

Umar bin Khaththab berkata,”Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada pula kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarkannya.” Maksud “mengatakannya” dan “mendengarkannya”, adalah mengatakan/mendengarkan kalimat yang haq dalam muhasabah.

Mereka yang mendapatkan muhasabah itu adalah sebaik-baik manusia dan para pemimpin, dan toh kaum muslimin telah melakukan muhasabah kepada mereka. Lalu bagaimana dengan selain mereka?

Revolusi Bersenjata kepada Penguasa Yang Menampakkan Kekufuran yang Nyata

Hal. 28

Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit bahwa dia berkata,”Rasulullah menyeru kami lalu kami membaiat beliau. Maka apa yang beliau ambil (perjanjiannya) atas kami adalah bahwa kami membaiat (beliau) untuk mendengar dan mentaati (beliau) dalam apa yang kami senangi dan apa yang kami benci, dalam kemudahan kami dan kesulitan kami, dan hendaklah kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak. Rasulullah bersabda,’Kecuali kamu melihat kekufuran yang nyata yang dari sisi Allah kalian mempunyai bukti dalam hal itu.” (HR. Muslim)

“Akan ada para pemimpin (Khalifah) yang kalian ketahui (kebaikannya) dan kalian ingkari (keburukannya). Maka siapa saja yang mengetahui (kebaikannya) maka dia telah terlepas (dari tuntutan) dan siapa saja yang mengingkari (keburukannya) maka dia telah selamat, akan tetapi yang ridha dan mengikuti (keburukannya) (maka dia tidak selamat).” Para shahabat bertanya,’Apakah tidak kami perangi saja mereka itu (para pemimpin yang buruk) ?” Nabi SAW menjawab,”Tidak, selama mereka melaksanakan sholat.” (HR. Muslim)

“Sebaik-baik imam-imam (khalifah) kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk imam-imam (khalifah) kalian, adalah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian. Para shahabat bertanya,”Maka apakah tidak kami perangi saja mereka pada saat itu (ketika seorang imam/khalifah melakukan keburukan) ?” Nabi SAW menjawab,”Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian.” (HR. Muslim)

Ungkapan “selama mereka melaksanakan sholat” atau “selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian”, adalah kinayah tentang penerapan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, yaitu menyebutkan sesuatu hal dengan ciri yang paling menonjol dari sesuatu itu.

Hal. 29-30

Pada saat negeri/wilayah (Dar) yang adalah Darul Islam, dan penguasa mulai mengubahnya menjadi Darul Kufur, yaitu dengan menampakkan kekufuran yang nyata yang tidak ada lagi syubhat (kesamaran) lagi padanya, maka kaum muslimin wajib melakukan revolusi fisik (bersenjata) kepadanya dalam rangka untuk mencegah tindakan penguasa itu dengan kekuatan. Akan tetapi revolusi ini membutuhkan pengaturan, pemimpin, dan menuntut adanya pertolongan serta persiapan kekuatan untuk mencapai keberhasilan dari revolusi ini. Jadi bukan semata-mata untuk mengadakan revolusi. Revolusi ini adalah semata untuk menurunkan penguasa atau mengembalikannya kepada ketentuan Syariat dan memaksanya untuk menetapi kebenaran.

“Sekali-kali tidak. Demi Allah kalian harus sungguh-sungguh memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dan membawa tangan penguasa dan memakasanya (menetapi kebenaran) atau membatasinya hanya pada kebenaran itu saja.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Jadi ketika Mustafa Kamal Ataturk menghapuskan Khilafah dan memasukkan sekularisme, maka wajib saat itu kaum muslimin mencegahnya dengan kekuatan senjata.

Adapun pada saat negeri/wilayah (Dar) yang ada adalah Darul Kufur sejak dari awal keberadaannya, atau telah kembali menjadi Darul Kufur dan telah mantap atas keadaan itu, maka ini membutuhkan usaha yang besar berupa perjuanagan pemikiran dan dakwah dengan hujjah untuk mempersiapkannya berubah menjadi Darul Islam. Rasulullah SAW telah memulai dakwahnya di Makkah dan saat itu beliau menyaksikan kekufuran yang nyata namun beliau tidak memerangi mereka dengan pedang. Dan Rasulullah telah mentaqrir kaum muslimin untuk hidup di dalam Darul Kufur (di Makkah dan Habasyah) padahal sudah ada Darul Islam. Kaum muslimin saat itu menyaksikan kekufuran yang nyata dalam Darul Kufur dan tidak melakukan revolusi bersenjata terhadap para penguasanya. Sebab permasalahannya dalam kondisi semacam ini yan dibutuhkan adalah penyiapan pemikiran (masyarakat) kemudian setelah itu mencari pertolongan dan dukungan (thalabun nushrah) untuk mengambil-alih kekuasaan.

Hal.30

MASALAH KAUM MUSLIMIN SAAT INI ADALAH MENDIRIKAN KHILAFAH YANG MENERAPKAN ISLAM SECARA SEMPURNA DAN MENGEMBAN RISALAH ISLAM KE SELURUH DUNIA

Rasulullah SAW ditanya,”Manakah dari dua kota ini yang akan ditaklukkan terlebih dahulu, Konstantinopel ataukah Roma ? Maka Rasulullah SAW menjawab,”Kota Heraclius (Konstantinopel) akan ditaklukkan terlebih dahulu.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Al Hakim, dan Ibnu Abi Syaibah)

“Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan bagiku bumi sehingga aku dapat menyaksikan bagian-bagian timur dan baratnya, dan kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dihimpunkan (Allah) bagiku dari bagian bumi itu.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi)

“Berikanlah kabar gembira kepada umat (Islam) ini (bahwa mereka akan mendapatkan) kelapangan, kemuliaan, (kemenangan) agama, pertolongan, dan keteguhan di muka bumi. Maka barangsiapa di antara mereka yang beramal dengan amal akhirat untuk mendapatkan dunia, maka tiadalah baginya bagian di akhirat.” (HR.Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi, dan Ibnu Hibban)


Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar