Dimuat dalam iB Testimony Eramuslim.com tanggal 2 Maret 2010
Pagi-pagi mau berangkat ke kampus, seperti biasa naik angkot menyusuri pagi yang cukup dingin. Jarak kost-an dari jalan raya cukup jauh dan mendaki, tapi untuk mengggapai ilmu, bukit pun akan didaki dan lembah pun akan diseberangi…hehehe…dengan suatu harapan, masa depan berbuah kegemilangan, insya Allah.
Di pinggir jalan, aku melirik sana sini, terutama dari arah kiri karena sahabat-sahabat mungkin tahu bahwa di Bandung itu jalannya searah dan harus berputar kalau mau kembali ke tempat asal (nah lo, kok malah cerita yang lain?!). Sesaat, aku melihat sesosok benda yang hampir menyerupai kubus bergerak dengan deruan yang aneh, mungkin mesinnya udah rada usang kali ya, yap itulah angkot yang aku tunggu untuk menuju tempat mengukir prestasi, kampusku tercinta.
Angkot masih sepi dan hanya duduk seorang sopir yang kelihatan fokus mengendarai angkotnya. Beberapa saat, ia seolah-olah mencari sebuah sosok yang akan ditujunya, yah, tentu saja penumpang-penumpang berikutnya yang akan menggunakan jasa ‘narik’ nya.
Tak lama berselang, mobil di-stop oleh seorang ibu yang kelihatannya mengantarkan anaknya ke sekolah. Hal ini terindikasi dari seragam sekolah yang dipakai anak kecil itu dan memang hari itu hari sekolah (analisa yang cukup tajam bukan !??)
“Pitra, ayo sini, kita udah telat nih, nanti Mamah nggak mau Ia kayak hari kemaren!”, tukas Ibu itu.
Oh, nama anak itu ternyata Pitra, dalam hatiku berbicara.
Pitra kelihatan sibuk dengan permainannya sendiri yang ada di tangannya, seperti puzzle yang di susun-susun gitu. Aku saja nggak pernah selesai untuk menyusun puzzle-nya, tapi anak itu dengan lincah sudah mampu menyusun dua sisinya dengan warna yang seragam. “Wah, hebat”, hatiku bergeming.
“Mama, Papa ke mana tadi malam? Kok berangkatnya buru-buru, Papa emang pergi ke mana?” Pitra berbicara dan seolah memecah keheningan di angkot itu. Berikutnya, percakapan ibu dan anak inilah yang mengisi perjalananku ke kampus. Terpaksa atau pun tidak, aku mendengarkan perbincangan mereka, meski pun aku rada-rada mengalihkan pandangan gitu, tapi aku tertarik mendengarkannya karena pokok bahasannya cukup menarik.
“Iya, tadi malam Pitra bukannya udah tidur sayang, kok tau?, ibunya menjawab. ” Ia (panggilan sehari-hari Pitra) belum tidur kok, Ma, tadi malam Papa ke kamar Ia sebelum berangkat. Papa cuma mencium kening Ia, tapi kerasa, makanya Ia tau”, balas Pitra. Seperti menghela napas, ibunya menjawab, “Oh gitu, tadi malam tuh, Papa dapat tugas mendadak ke luar kota, ngurusin kerjaan”.
“O, trus sampai berapa lama, Ma? Papa kan janji Sabtu ini mau liburan ke Dufan?”, Ia balik bertanya. “Papa nggak lama, Jumat juga balik kok, sayang”, ibunya menjawab dengan nada meyakinkan. “Tapi bener ya”, Ia mencoba meyakinkan ibunya dengan polos. “Iya, sayang”, ibunya mengusap-usap kepala Pitra.
“Ma, Ma, katanya, Papa kerja di bank syariah ya? Soalnya, kemaren Ia baca di tas Papa itu ada tulisan b-a-n-k s-y-a-r-i-a-h”, Ia membaca bank syariah sambil mengejanya. ” Mmh, Ia pinter ya. Iya, Papa baru dua bulan ini dapet kerjaan baru dan langsung ditugasin keluar kota sama atasannya Papa”, sang Mama menjelaskan. “Papa suka sekali dengan pekerjaan sekarang, makanya Papa bersemangat untuk berangkat kerja”, ibunya kembali menjawab dengan lebih semangat.
Mungkin karena anak-anak kali ya, selalu saja bertanya dan bertanya, “anak yang cerdas”, pikirku membatin.
“Ma, emang bank syariah itu apa, Ia kok bacanya susah gitu”, pertanyaan Ia kali ini kayaknya membuat si Ibu sedikit mengernyitkan keningnya.
Aku kebayang kalau ibunya menjawab secara literat, si anak itu akan mampu menerjemahkan sendiri atau tidak ya?! Soalnya, bank syariah kan cukup baru, jadi selain si Ibu harus mengartikan bank itu apa, trus ditambah dengan embel-embel syariahnya, wah jawaban si ibu harus sefamiliar mungkin untuk anak-anak yang masih berumur tujuh tahunan itu.
“Mama juga belum ngerti banget bank syariah itu apa?” Gubrak, si Ibu tidak dapat menjawabnya, pikirku. “Tapi yang Mama tau, bank itu kan untuk nyimpan duitnya Ia, trus nanti uang Ia akan dikelola pakai cara Islam”. Waduh-waduh, aku semakin bingung, anak sekecil itu bisa paham nggak ya…
“Emangnya Papa nggak apa-apa kerja di sana? Ntar kalo Papa diapa-apain gimana, Ma?”
Ya, asumsiku benar, kayaknya si anak belum ngerti dengan penjelasan mamanya. Aku ingin bantuin si Ibu itu, tapi menjelaskan ke anak-anak itu rada-rada susah apalagi aku juga belum tahu apa sih sebenarnya bank syariah dalam konteks pengertiannya.
“Ia sekarang belajar ngaji sama ustad kan. Nah, ntar Ia tanyain aja ke ustadnya, bank syariah itu apa, soalnya mama belum ngerti juga apa itu bank syariah”, ibu menjawab dengan polosnya. Kayaknya untuk memadamkan kata-kata bank syariah yang mungkin di dalam penjelasannya akan mengandung frase-frase yang cukup berat jika dikonsumsi oleh anak-anak. Cukup menantang juga karena kita harus bisa membahasakan itu ke anak-anak jika nantinya sosialisasi bank syariah sampai ke anak-anak.
“Iya, ntar Ia tanyain deh, tapi Papa nggak apa-apa kan kerja di sana?”
Aduh, aku nggak ngerti sebenarnya di pikiran Pitra itu, bank syariah itu apa, semoga si Ibu bisa jawab ke depannya.
Tanpa sadar, aku telah sampai di Jalan Dipati Ukur, Bandung, tempat kampusku, “Pak, kiri, Pak”, suaraku kayaknya tetap tidak membuyarkan pembicaraan antara ibu dan anak itu. Sekilas aku melihat sesosok anak kecil yang dengan keluguannya dan segudang pertanyaan yang menurut bahasaku aneh (ye, namanya juga anak-anak) tapi itulah dunia anak-anak yang mengesankan. Aku bergumam, semoga si Ibu bisa menjawabnya.
“Makasih ya, Pak”, bilangku ke Pak sopir, dan angkot pun berangkat membelakangiku dan aku pun siap untuk menuju kampusku.
Di jalan menuju kelas, aku seperti diajak untuk menelusuri labirin pengetahuan tentang bank syariah. Kalau nantinya ada sosialisasi bank syariah ke anak-anak, cara membahasakannya gimana ya? Karena notabenenya, si anak-anak adalah tumpuan masa depan kita. Sejenak aku berpikir, aku saja belum terlalu ngerti dengan bank syariah secara mendalam, nanti kalau misalnya adikku nanya gimana ya?…pikirku panjang…
Subhanallah, dunia anak-anak, dunia yang seperti bersih dan tidak terjamah oleh pemikiran-pemikiran nyeleneh, dan hal ini tentu harus kita jaga kelestariannya (emang alam?!) dan kita harus arahkan agar mereka paham tentang bank syariah, gunanya untuk apa, agar mereka menjadi faktor penggerak juga untuk berkembangnya bank syariah, untuk sekarang dan masa depan.
Nah sekarang, dari sahabat-sahabat pembaca yang tercinta, ada yang bisa membahasakan bank syariah itu dengan bahasa dan wawasan anak-anak?
Sumber
http://arvan8.dagdigdug.com/
Kamis, 04 Maret 2010
Bank Syariah Dalam Cakrawala Anak-anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar