Kamis, 18 Maret 2010

Para Penghuni Neraka Saqar

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. (TQS al-Muddatstsir [74]: 42-47).

Dahsyatnya siksa neraka telah banyak diberitakan dalam al-Quran. Aneka siksa yang disediakan bagi penghuninya amat mengerikan. Dipastikan, tidak seorang pun yang kuat menghadapinya. Agar tidak terjerumus ke dalam neraka, kita harus mengenali sifat orang-orang yang dimasukkan ke dalamnya. Dalam Alquran cukup banyak ayat yang menggambarkan potret dan karakter mereka. Ayat-ayat ini adalah diantaranya.

Tidak Shalat dan Tidak Bersedekah

Allah SWT berfirman: Mâ salakakum fî saqar (”apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar?”). Jika dilihat pada ayat sebelumnya, ini merupakan percakapan antara penghuni surga dengan peng-huni neraka di akhirat kelak. Bagaimana detail peristiwanya, walLâh a’lam. Yang diberitakan kepada kita hanya isi percakapan di antara mereka.

Para penghuni surga bertanya mengenai keadaan al-mujrimîn, para pelaku dosa dan kriminal. Menurut al-Razi dan dan al-Khazin, pertanyaan itu merupakan celaan dan mempermalukan. Tema yang mereka tanyakan adalah perkara yang menyebabkan para pelaku dosa itu dimasukkan ke dalam saqar. Saqar adalah nama salah satu neraka. Dalam ayat 29-30 disebutkan bahwa neraka saqar itu lawwahat[un] li al-basyar (pembakar kulit manusia). Di atasnya dijaga malaikat sebanyak sembilan belas.

Ada empat perkara yang disebutkan menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka saqar. Pertama: Qâlû lam naku min al-mushallîn (mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat). Shalat merupakan salah satu ibadah penting yang diperintahkan. Perintah tentangnya disebutkan dalam banyak ayat maupun hadits. Dalam sehari semalam, ada lima kali shalat yang diwajibkan. Selain itu, masih ada shalat-shalat lainnya yang tergolong sebagai nâfilah.

Sebagaimana dijelaskan Fakhruddin al-Razi, al-Baidhawi, dan al-Syaukani, shalat wajib inilah yang mereka tinggalkan. Sebab, yang bukan wajib tidak boleh diazab tatkala meninggalkannya. Menurut Ibnu Katsir ayat ini memberikan pengertian lebih luas. Ayat ini berarti mâ ‘abadnâ Rabbanâ (kami tidak menyembah Tuhan kamu). Inilah penyebab pertama mereka dimasukkan ke dalam neraka saqar.

Penyebab kedua adalah:Walam naku nuth’im al-miskîn (dan kami tidak [pula] memberi makan orang miskin). Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta benda yang dapat mencukupi kebutuhannya. Bahkan bisa jadi, kebutuhan makan pun tidak mampu memenuhinya. Islam telah memerintahkan orang yang berkemampuan untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman: Dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir (TQS al-Hajj [22]: 28). Pelakunya mendapatkan pujian dan balasan yang baik (lihat al-Insan [76]: 8-11).

Sebaliknya, orang yang enggan melakukannya dan tidak mendorong orang lain mengerjakan serupa dicela dan diancam dengan siksa-Nya (lihat QS al-Ma’un [107]: 3, al-Fajr [89]: 18, al-Haqqah [69]: 34). Sikap inilah mereka lakukan semasa hidup di dunia. Mereka bakhil terhadap apa yang telah diberikan Allah SWT kepada mereka, kata Ibnu Jarir al-Thabari dan al-Jazairi.

Kendati yang disebutkan tidak memberikan makan, namun pengertian yang dihasilkan bisa lebih luas, mencakup sedekah harta lainnya. Sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi dan al-Syaukani dalam tafsirnya, ayat ini bermakna: lam natashaddaqa (kami tidak bersedekah kepada orang-orang miskin). Ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi bahwa shadaqah yang dimaksudkan ayat ini adalah shadaqah wajib. Alasannya, jika tidak wajib maka orang yang meninggalkannya tidak akan diazab. Menurutnya, adanya siksa itu kepada orang kafir itu menunjukkan bahwa mereka juga diseru dalam perkara furû’ (cabang).

Berbicara Batil dan Mendustakan Kiamat

Jika terhadap kewajiban mereka meninggalkannya, maka terhadap perbuatan terlarang mereka justru gemar mengerjakannya. Itulah karakter ketiga mereka: Wakunnâ nakhûdhu ma’a al-khâidhîn (dan adalah kami membicarakan yang batil). Menurut al-Raghib al-Asfahani, al-khawdh berarti al-syurû’ fî al-mâ’ wa al-murûr fîhi (menyelam ke dalam air dan terus berada di dalamnya). Kemudian kata itu digunakan untuk banyak perkara. Di dalam Alquran sebagian besar digunakan untuk perkara-perkara yang tercela, seperti dalam QS al-Taubah [9]: 69, al-An’am [6]: 68, 91, dan al-A’raf [7] al-Zukhruf [43]:83. Dalam konteks ayat ini, al-Qurthubi dan al-Zuhaili memaknainya: kunnâ nukhâlithu ahl al-bâthil fî bâthilim (kami bercampur baur dengan ahli bathil dalam kebatilan mereka). Sedangkan al-Samarqandi menafsirkannya: Kami mengolok-olok kaum Muslimin dan membicarakan kebatilan. Kami menolak yang haq bersama orang-orang yang berbuat batil dan mengolok-olok.

Keempat: Wakunnâ nu-kadzdzibu biyawm al-dîn (bersama dengan orang-orang yang membicarakannya). Yang dimaksud dengan yawm al-dîn di sini adalah yawm al-hisâb wa al-jazâ’ (hari perhitungan dan hari pembalasan). Muara kehidupan dunia setelah berakhir. Dalam Alquran, berita tentangnya ter-sebar dalam berbagai surat. Beberapa nama surat pun dina-mai dengannya atau dengan peristiwa yang terjadi ketika itu, seperti al-qâri’ah, al-wâqiah, al-qiyâmah, al-Hâqqah, al-zalalah, al-Takwîr, al-insyiqâq, dan al-Infithâr. Terjadinya hari pembalasan wajib diyakini. Mengingkarinya merupakan kekufuran. Dan tidak ada balasan bagi orang yang kufur kecuali neraka.

Sebagaimana diberitakan ayat ini, para penghuni neraka saqar itu mendustakan hari pembalasan. Itu artinya, mereka juga mendustakan al-tsawâb wa al-’iqâb (pahala dan dosa). Pengingkaran mereka itu terus berlangsung hingga ajal mereka. Allah SWT berfirman:Hattâ atânâ al-yaqîn (dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”). Makna kata al-yaqîn di sini adalah al-mawt (kematian). Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Razi, al-Syaukani, dan lain-lain. Pengertian demikian juga terdapat pada firman-Nya: Wa’bud Rabbaka hattâ ya’tika al-yaqîn (dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kemati-an kepadamu, TQS al-Hijr, [15]: 99). Kematian memang memutus keraguan dan menghilangkan semua keraguan.

Ungkapan hattâ atânâ al-yaqîn menunjukkan bahwa mereka tidak bertaubat selama di dunia hingga datangnya kematian. Seandainya mereka sempat bertaubat sebelum ajal tiba, nasib mereka tentu tidak tragis seperti itu. Sebab, Allah SWT membuka pintu taubat bagi setiap hamba-Nya yang mau bertaubat selagi masih hidup. Asalkan bertaubat dengan tawbat[an] nasûh[an], Allah SWT akan mengampuni semua dosa hamba-Nya. Allah SWT berfirman: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Zumar [39]: 53).

Akan tetapi, kesempatan bertaubat itu tidak mereka lakukan. Hingga mereka mati dalam kekufuran. Akibatnya, mereka harus menerima azab berupa neraka selama-lamanya (lihat QS al-Baqarah [2]: 216). Dalam ayat berikutnya juga ditegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memberikan syafaat buat mereka. Allah SWT berfirman: Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat (TQS al-Muddatstsir [74]: 48).

Itulah potret orang menderita kerugian amat besar, mendapat siksa tiada tara dan tanpa tepi. Kesenangan di dunia akibat meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perbuatan haram, serta pengingkaran sama sekali tidak imbang dengan siksa yang akan diterima. Mari kita berdoa agar kita dihindarkan dari semua sifat buruk itu. WalLâh a’lam bi al-shawâb. []


Oleh:
Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Mediaumat.com


Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar