Jumat, 26 Maret 2010

::Tanda Kekafiran::

Oleh: Muhammad Rahmat Kurnia |

Riddah. Itulah kata yang terkait dengan tanda kekafiran yang ada dalam diri seorang Muslim. Riddah menurut bahasa berarti kembali ke jalan tempat ia sebelumnya datang. Sedangkan, menurut istilah syara, riddah bermakna kembalinya seorang Muslim dari Islam kepada kekufuran (ruju’ al-muslim ‘an al-islam ila al-kufri). Karenanya, berbicara masalah tanda kekafiran sebenarnya sedang berbicara tentang tanda riddah (Syarh Kitab at-Tawhid, Abdullah bin Muhammad al-Ghaniman, Jilid 130, hal. 7). Makna ini dapat dipahami di antaranya dari Alquran surat al-Baqarah:217, al-Maidah:4, dan an-Nahl:109.

Allah SWT memberitakan tentang adanya orang yang keluar kepada kekufuran setelah sebelumnya beriman (TQS. Muhammad:25, at-Tawbah: 65-66 dan 74). Bahkan, sepeninggal Rasulullah SAW ada yang kembali kepada kekufuran dengan menolak kewajiban mengeluarkan zakat, atau mengingkari kenabian Muhammad SAW dengan dalih Nabi tidak mungkin mati. Mereka adalah orang-orang yang belum menghunjam keimanan dalam dadanya. Para sahabat pun bersikap tegas terhadap mereka hingga mereka kembali kepada Islam. Melihat hal ini bukan hal aneh apabila ada di antara umat Islam yang memiliki tanda-tanda riddah dalam dirinya. Yang penting, siapa pun perlu memahaminya agar tidak terjerumus ke dalamnya. Na’udzu billah min dzalik.

Dalam kitab Mafahim Aqidah Fil Islam, ad-Dimyati menyebutkan bahwa tanda-tanda kekufuran dapat terjadi dalam ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad). Hanya saja, terkait dengan i’tiqad tidak dapat diketahui secara lahiriah kecuali bila ia menunjukkannya dalam ucapan atau perbuatan. Berdasarkan hal ini, tidak mungkin kita menghakimi bahwa ia benar-benar telah kufur dalam i’tiqad kecuali apabila benar-benar secara lahir telah tampak kekufurannya.

Banyak tanda-tanda kekufuran itu. Di antaranya, pertama, mendustakan ajaran Islam baik ajaran yang terdapat dalam Alquran maupun yang dijelaskan dalam sunnah Rasulullah SAW (Ta’liqat ‘ala syarhi lum’atu al-I’tiqad, As-Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, Juz 1, hal. 23). Hal ini diantaranya ditegaskan dalam surat al-Insyiqaq ayat 21-22. Termasuk di dalamnya ragu terhadap akidah Islam, serta ragu terhadap perkara yang qath’i (pasti). Misalnya mengatakan Allah SWT mempunyai sekutu, Alquran itu bukan kalamullah, hukum Allah itu tidak ada, dll. Termasuk juga di dalamnya ingkar terhadap perkara-perkara yang diatur Islam seperti ingkar terhadap shalat dengan mengatakan bahwa shalat itu sekadar masalah social acceptance (penerimaan sosial), bukan kewajiban. Juga, mengingkari kewajiban zakat, puasa, haji, kewajiban jihad, keharaman khamr, judi, zina dan sebagainya.

Kedua, menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Hukum digali bukan dari hukum Allah yang ada dalam ajaran Islam, melainkan digali dari pikiran dan logika manusia itu sendiri. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya“ (TQS. An-Nisaa:60). Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya menyebutkan ”Ayat ini diturunkan saat kaum munafik tidak mau berhukum kepada Rasulullah melainkan kepada penguasa jahiliyah (hukkam al-jahiliyah), yakni Ka’ab al-Asyraf. Ayat ini secara umum merupakan pengingkaran dari Allah SWT terhadap keimanan seseorang yang berhukum pada selain apa yang diturunkan dalam Alquran dan as-Sunnah” (Tafsir Alquran al-’Azhim, Juz 2, hal. 88). Hal senada disebutkan juga dalam surat Lukman:21, an-Nur:51, dan an-Nisa:65.

Ketiga, membenci sesuatu yang ada dalam ajaran Islam. ”Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Alalah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (yaitu Al-Qur’an) lalu Allah menghapus pahala amal-amal mereka.” (TQS. Muhammad 8-9). Makna ‘benci kepada apa yang diturunkan Allah’ adalah ‘mereka tidak menghendakinya dan tidak menyukainya’ (Tafsir Alquran al-’Azhim, Juz 7, hal. 310). Imam Ath-Thabari menegaskan, ‘Mereka membenci kitab Kami yang telah Kami turunkan kepada Nabi Kami Muhammad SAW, anti terhadapnya, seraya mendustakannya, dan mengatakan ini sihir yang nyata’ (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Alquran, Juz 22, hal. 162). Sesungguhnya membenci Rasulullah atau apa yang berasal dari Allah dan shahih dari Rasulullah termasuk tanda riddah yang dapat mengeluarkannya dari Islam (Al-Mufashol fi Ahkam al-Hijrah, Ali Ibn Nayif asy-Syuhud, Juz 4, hal. 106). Benci terhadap jilbab sebagai ajaran Islam, kriminalisasi poligami sebagai penolakan hukum yang dibolehkan Islam, kriminalisasi janggut, pernyataan ‘Islam adalah ideologi setan (evil ideology)’, benci terhadap syariat Islam termasuk menolak peraturan daerah yang dianggap berasal dari syariat Islam, kalau syariat Islam diterapkan maka yang pertama kali menjadi korban adalah perempuan, hukum Islam diskriminatif, hukum rajam/potong tangan itu kejam, kembali kepada syariat Islam berarti kembali ke abad 2 H, dll termasuk tanda-tanda yang dapat menjerumuskan pelakunya kedalam kekufuran.

Keempat, iman kepada sebagian ajaran Islam dan kufur terhadap sebagian lainnya. Misalnya, paham sekulerisme. Paham ini mengakui ajaran Islam dalam masalah ritual seperti shalat, zakat, haji, puasa, dll tetapi menolak hukum Islam mengatur masalah sosial, politik, ekonomi, dan persoalan publik lain. Lalu, untuk mengisi kekosongan hukum dalam masalah publik dibuatlah hukum lain yang bukan berasal dari Islam. ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan RasulNya dan bermaksud meperbedakan antara Allah dan RasulNya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain) serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kufur). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan” (TQS. An-Nisaa:150-151). Imam Ath-Thabari menuliskan, ‘Mereka mengatakan ”kami mengimani ini tapi mengingkari yang itu”. Lalu, mereka menjadikan jalan menuju kesesatan yang mereka buat-buat dan bid’ah yang mereka ada-adakan. Namun demikian, mereka tetap mengaku-aku beriman. Padahal, Allah menegaskan Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya’ (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Alquran, Juz 9, hal. 353).

Kelima, menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (TQS. Ali ‘Imran: 28; an-Nisa: 139, 144; al-Maidah: 51, 57, 81). Di antara penampakan perwalian terhadap kaum kafir adalah menjadikan mereka sebagai pemberi bantuan dan pertolongan atas kaum Muslim, serta pujian kaum Muslim kepada kaum kafir. Ini bertentangan dengan Islam serta termasuk dalam salah satu sebab terjadinya riddah (al-Irsyad Ila Shahih al-I’tiqad, hal. 351). Kedudukan sebagian orang yang berada pada pihak negara-negara kafir dalam menghadapi kaum Muslimin serta membantu mereka dalam melawan kaum Muslim menjadikan pelakunya sebagai bagian dari kaum kafir itu sendiri. Hal ini bentuk kekufuran yang bertentangan dengan millah Islam (Al-Mufashol fi Ahkam al-Hijrah, Ali Ibn Nayif asy-Syuhud, Juz 5, hal. 145).

Keenam, menyerukan paham-paham yang bertentangan dengan Islam. Misalnya, menyerukan sekulerisme, pluralisme, liberalisme, demokrasi, HAM ala Barat, kesukuan, wathoniyah (nasionalisme, kebangsaan), dll. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak termasuk golonganku oang yang mengarah pada ashobiyah (golongan) dan tidak termasuk golonganku orang yang berperang karena ashobiyah dan tidak termasuk golonganku orang yang mati karena ashobiyah” (HR. Dawud).

Masih banyak tanda-tanda yang dapat menjerumuskan seseorang kepada kekufuran. Hal terpenting adalah siapapun umat Muhammad SAW berkewajiban menghindari dan membuang jauh-jauh tanda-tanda tersebut. Semoga kita terselamatkan dari hal berbahaya tersebut

[Mediaumat.com]


Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar