Senin, 01 Maret 2010

IMAM MALIK

Imam Malik adalah ahli hadits yang besar, yang mewariskan jejak yang tidak terhapus dari khasanah pengetahuan Arab. Karyanya yang gemilang adalah Muwatta yang mendapat tempat yang terhormat di antara himpunan hadits yang langka. Sebagai guru yang dinilai luar biasa, dan pendiri Madzhab fiqh Maliki, ia menempati kedudukan yang khas dalam sejarah Islam, dan mempengaruhi generasi Islam waktu itu, sampai kepada generasi-generasi berikutnya terutama di Afrika dan Spanyol. Dengan kemauannya yang keras, berjiwa gagah berani, pantang mundur, dan tidak mengenal takut walaupun terhadap penguasa tertinggi, Imam Malik termasuk kelompok Islam awal yang hidupnya selalu laksana mercusuar bagi mereka yang berjuang mewujudkan kebajikan yang lebih mulia dan lebih tinggi di dunia.

Malik ibn Anas datang dari keluarga Arab yang terhormat, bersetatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, tetapi setelah nenek moyangnya menganut agama Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir adalah anggota keluarg pertama mereka yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. para ahli tarikh berbeda pendapat mengenai kelahiran Imam tersebut. Ibn khalikan menyebut 95 H, tetapi yang umum diterima adalah 93 H, dan 13 tahun lebih muda dari rekannya yang termasyhur, Imam Abu Hanifah. Imam Malik berguru di Madinah, pusat pendidikan kerajaan Islam, dan tempat bermukim sebagian besar sahabat Nabi. Karena itu ia tidak perlu meninggalkan Madinah untuk menimba ilmu. Kakeknya, serta ayah dan pamannya semua ahli hadits, dan mereka melatih imam muda itu dalam ilmu hadits dan cabang ilmu lainnya. Cendekiawan ternama dan termasyhur lain yang mendidik dia adalah Imam Ja’far Sadiq, Muhammad bin Syahab az-Zahri, Yahya bin Saeb, dan Rabi Rayi.

Tanpa putus-putusnya Imam Malik mengabdi di bidang pendidikan selama 62 tahun. Ia wafat 11 Rabiulawal 179 H pada usia 86. Mengajar, tigas-tugas yang mulia itu, ditekuni oleh beberapa cendekiawan agung dunia termasuk Plato, Ghazali, Ibn Khaldun, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik. Reputasi tinggi Imam Malik sebagai ilmuwan dan guru menarik rakyat dari keempat penjuru kerajaan Islam yang luas itu. Agaknya, tidak ada guru lain yang pernah menghasilkan ilmuwan berbakat yang sampai ke puncak sukses berbagai bidang tugas. Mereka yang beruntung pernah mendapatkan pelajaran dari dia, antara lain ialah para khalifah seperti Mansur, Imam Syafi’, Sufyan Suri, dan Qadi Muhammad Yusuf; ilmuwan seperti Ibn Syahab Zahri dan Yahya bin Saed Ansari; serta sufi seperti Ibrahim bin Adham, Dhun-Nun, dan Muhammad bin Fazil bin Abbas. Menurut sumber tarikh yang dapat dipercaya, jumlah muridnya yang ternama berjumlah lebih dari 1.300 orang. Ciri ajarannya adalah ketenteraman, disiplin, dan rasa hormat yang tinggi dari murid terhadap guru. Tidak pernah disiplin mengendur bila ia sedang memberi kuliah hadits. Pernah Khalifah Abbasiah Mansur membahas hadits Nabi dengan nada agak keras. Sang Imam marah: “Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi,” katanya. Ia juga menolak mengajar hadits di kediaman khalifah.

Imam itu mewarisi lebih dari selusin karya tulis, termasuk Muwatta yang termasyhur itu, kitab yang dianggab terpenting setelah Al-Qur’an. Risalahnya menelaah bidang agama, etika, dan Fiqh Islam. Dunia mengakui Muwatta sebagai kitab penting perpustakaan Islam setelah Al-Qur’an. Menurut Syah Waliyullah, kitab imam itu merupakan himpunan hadits Nabi yang paling sahih, dipilih dengan penelitian sumber yang amat cermat. Ia menyusun kitab itu setelah mengadakan pembuktian kebenaran dan penyaringan yang saksama. Perhatian utamanya ialah rawi dan perawi yang tahan uji, dan ia sungguh-sungguh berusha memastikan tidk memuat rawi palsu. Semula Muwatta memuat 10.000 hadits, tetapi dalam edisi pembetulannya Imam Malik mengurangi jumlah itu sampai hanya 1.720. Kitab itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.

Sebagai ulama hadits, ia menempati kedudukan yang khas di antara bintang-bintang ilmuwan berbakat seperti penghimpun hadits terkenal Imam Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan bahwa ia selalu menjauhi pergaulan dengan bukan cendekiawan. Menurut Imam Hanbal, dialah penghimpun satu-satunya yang mendapat gelar kehormatan tidak pernah menyiarkan hadits sebelum ia sendiri yakin dan puas. Ia begitu dihargai oleh para ilmuwan lainnya, sehingga ketika pada suatu kali orang bertanya pada Imam Hanbal mengenai seorang perawi, Imam Hanbal menjawab, perawi itu pastilah dapat dipercaya, karena Imam Malik telah menyiarkan rawinya.

Imam Malik amat menderita ketika menuntut ilmu. Seperti Imam Bukhari, yang pernag harus hidup selama tiga hari dari daun-daunan dan akar, ia pun terpaksa menjual tiang rumahnya untuk melunasi ongkos pendidikan. Ia sering mengatakan, seseorang tidak akan mencapai puncak kemenangan intelektual kecuali sesudah menghadapi kemiskinan. Kemiskinan ialah ujian hakiki manusia. Ia membaktikan kekuatan tersembunyi dalam dirinya, kekuatan yang dapat mengatasi semua kesulitan.

Para ahli hadits, ilmuwan sezaman dan sesudahnya amat memuji hasil intelektual yang dicapainya. Abdur Rahman ibn Mahdi, umpamanya, mengatakan tak ada ahli hadits yang lebih besar dari pada Imam Malik di dunia ini. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i menyanjungnya sebagai ahli hadits. Ia juga seorang ahli hukum. Lebih dari 60 tahun ia memberi fatwa di Madinah.

Imam Malik masyhur oleh ketulusan dan kesalehannya. Ia selalu bertindak sesuai dengan keyakinannya. Ancaman atau kemurahan hati tidak akan dapat membelokkan dia dari jalan yang lurus. Sebagai anggota kelompok yang gemilang pada awal masa Islam, ia tidak dapat dibeli, dan dengan semangat keberaniannya selalu membuktikan bahwa ia adalah bintang pembimbing bagi para pejuang kemerdekaan.

Ketika ia berumur 25 tahun, kekhalifahan berada di tangan khalifah Abasiyah, Mansur, seorang teman yang memandang tinggi kecendekiawannya. Tetapi, Imam Malik sendiri lebih senang bila Fatimiyyin Nafs Zakiya yang menjadi khalifah. Sumpah setia rakyat kepada Mansur dinyatakannya tidak mengikat, karena dilakukan dengan paksaan. Ia mengutip hadits Nabi yang menyatakan ketidakabsahan perceraian paksa. Ketika Jafar, kemenakan Mansur, diangkat menjadi gubernur baru Madinah, ia membujuk penduduk kota suci itu mengulang sumpah setia mereka kepada Mansur. Ia melarang Imam Malik menyiarkan fatwanya tentang ketidakabsahan perceraian paksa. Sebagai seorang pemegang prinsip yang teguh, dan pemberani, ia tidak mengacuhkan larangan itu. Akibatnya ia dijatuhi hukuman 70 dera yang dilibaskan ke punggungnya yang telanjang. Dengan baju berlumuran darah ia diarak di atas unta di sepanjang jalan Madinah. Namun, kebuasan gubernur itu tetap gagal menggetarkan atau melemahkan hati imam muda itu. Mendengar kejadian ini, khalifah Mansur segera menghukum gubernur Madinah itu, dan menyuruh ia memint maaf kepada Imam Malik.

Khalifah Mansur pernah mengirim uang tiga ribu dinar untuk biaya perjalanan Imam Malik ke Baghdad, tetapi ia mengembalikan uang itu dan menolak untuk meninggalkan Madinah, kota makam Nabi.

Pada 174 H, Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Madinah dengan kedua putranya, Amin dan Ma’mun. Ia memanggil Imam menghadap ke baliurang untuk menceramahkan Muwatta. Imam datang di baliurang, tetapi menolak memberikan ceramah. Ia berkata: “Rasyid, hadits ialah pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi leluhur Anda. Bila Anda tidak menghormatinya, orang lain pun demikian juga.” Alasan penolakan itu diterima khalifah, dan baginda bersama kedua putranya bersedia datang ke tempat Imam Malik untuk mengikuti kuliah Imam tersebut.

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki Masjid Kufa. Tetpi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tmpatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepad Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya. Kaum Muslimin di Arab barat hanya menganut Madzhab Maliki.

Sumber: SERATUS MUSLIM TERKEMUKA, Jamil Ahmad

Oleh :
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar