Jumat, 16 April 2010

"Anakmu bukan anakmu." -- Khalil Gibran dalam 'Sang Nabi'

Di satu ruko di pinggir Jakarta, seorang gadis tengah asyik menggesek biola.
Tangan dan jari-jarinya belumlah sempurna memencet senar biolanya. Pantat
biola sering jatuh dari pundaknya yang kecil. Maklum, usianya masih belum
jauh berangkat dari angka lima. Namun dia senang tiada kepalang.

Sang ibunda mengambil kamera berponsel. Bunyi ngak-ngik-ngok menggempur
telinga. Agak tidak beraturan nadanya. Namun si ibu senang dengan aksi
anaknya di tempat kursus musik itu. Dia merekam aksi anak sulungnya selama
tiga menit lewat sedikit. Yah, hampir tiga setengah menitlah. "Ayah pasti
senang," katanya dengan tersenyum. Bangga sekali.

Nun jauh di timur Pulau Jawa. Ratusan kilometer dari Ibu Kota. Video
berdurasi tiga setengah menit juga dibuat seseorang dan diunggah ke situs
youtube.com. Isinya, sama-sama bocah. Tapi dia bukan bocah manis. Mulutnya
disumpal sebatang rokok yang terus menyala dan omongannya itu lho, ampun,
kasar dan vulgar.

Entah apa yang ada di benak si perekam dan mengunggahnya di situs video
youtube.com. Jelas dia tidak sedang ingin bercanda dengan hasil rekaman
video singkat itu. Namun, mungkin juga ia tidak pernah berpikir gambar hasil
rekamannya itu dimaksudkan untuk memotret kelamnya sebuah negeri. 3,29 menit
berlalu, negeri ini pun geger.

Berbagai berita mengabarkan tentang anak ini. Dia hidup bersama ibunya yang
depresi dan tumbuh di lingkungan yang tidak bagus untuk pertumbuhannya.
Kabarnya, Komnas Perlindungan Anak mendapatkan laporan sekitar 10 kasus
serupa. Tapi itu mungkin yang ketahuan. Yang tidak dilaporkan?

Bisa jadi lebih. Lihatlah ke jalan-jalan. Saat berhenti di lampu merah,
anak-anak yang baru berusia tiga hingga lima tahun sudah berada di sana
dengan menengadah tangan, mengetuk-ngetuk jendela mobil. Sungguh pemandangan
yang mengibakan.

Bocah-bocah ini tidak punya kesempatan belajar menggesek biola. Jangankan
itu, untuk makan saja mereka terpaksa atau mungkin dipaksa untuk turun ke
jalan. Ingus mereka belumlah kering, tapi mereka sudah memikirkan bagaimana
caranya mendapatkan uang.

Anak-anak adalah masa depan bangsa ini. Merekalah penerus negeri ini. Mereka
yang kurang beruntung sejatinya menjadi urusan negara. Karena undang-undang
memang mengamanahkan demikian. Namun kita semua tahu, negara ini terlalu
banyak urusan yang harus ditangani.

Kita tentu bersyukur banyak orang-orang yang peduli dengan nasib buruk yang
menimpa anak-anak itu. Sedikit uluran tangan pasti membantu anak-anak yang
malang ini terhindar dari masalah besar. Anda pun dapat membantu mereka.
Sesuai kemampuan Anda.

Tapi, bila kita tidak mampu melakukan itu, cukuplah menjaga anak-anak kita
sendiri. Keluarga kita sendiri. Menghentikan semua urusan pekerjaan saat
akhir pekan datang. Lalu membenamkan atau bahkan menjadi seperti diri mereka
akan sangat menghilangkan kepenatan selama sepekan penuh. Jadi tak perlu ke
tukang pijat.

Keluarga merupakan perhiasan yang sangat berharga. Anak-anak adalah permata
yang makin membuatnya indah. Terlalu merugi untuk diabaikan.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009

Lihat edisi lengkap MOM di:
http://www.facebook .com/pages/ Message-of- Monday/107053969 330621


Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar