Sabtu, 17 April 2010

Jalan Menuju Iman (Thariqul Iman)

hal pertama yang dikaji oleh para pejuang syariah dan khilafah adalah AQIDAH ~

Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup1), alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan Zat yang ada sebelum alam kehidupan dan alam yang ada sesudah kehidupan dunia. Oleh karena itu, harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain agar ia mampu bangkit.

Sebab, pemikiranlah yang membentuk mafahim2) terhadap segala sesuatu serta yang memperkuatnya. Selain itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku terhadap orang tersebut, yang nyata-nyata berlawanan terhadap orang lain yang dibencinya, dimana ia memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Begitu juga akan berbeda terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya, dimana ia tidak memiliki mafhum apapun terhadap orang tersebut. Demikianlah, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya.

Maka dari itu, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhum-nya terlebih dahulu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (Ar-Ra’d 11).

Satu-satunya jalan untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga dapat terwujud mafahim yang benar akan kehidupan tersebut pada dirinya. Namun, pemikiran seperti ini tidak akan melekat erat dan memberikan hasil yang berarti, kecuali jika terbentuk dalam dirinya pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan hidup; tentang Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan alam yang ada sesudahnya; disamping juga keterkaitan kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan alam yang ada sesudahnya. Semua itu dapat dicapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada di balik ketiga unsur utama tadi. Sebab, pemikiran menyeluruh dan sempurna semacam ini merupakan landasan berpikir (al-qa’idatul fikriyah) yang dapat melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia. Memberikan pemikiran yang menyeluruh mengenai ketiga unsur tadi merupakan pemecahan al-uqdatul kubra3) pada diri manusia.

Apabila al-uqdatul kubra ini teruraikan, maka terurailah berbagai permasalahan lainnya, karena seluruh problema kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari al-uqdatul kubra tadi. Namun demikian, pemecahan tersebut tidak akan mengantarkan kita kepada kebangkitan yang benar, kecuali apabila pemecahan itu sendiri adalah benar, yaitu pemecahan yang sesuai dengan fithrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati.

Pemecahan yang benar itu tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan al-fikrul mustanir –yaitu pemikiran yang sangat dalam, yang mencakup hakekat segala sesuatu, termasuk semua hal yang berhubungan dengannya– tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan menginginkan kehidupannya berada pada jalan yang mulia, mau tidak mau terlebih dahulu harus memecahkan al-uqdatul kubra ini dengan benar. Caranya, melalui al-fikrul mustanir tadi. Pemecahan inilah yang menghasilkan aqidah, sekaligus menjadi landasan berpikir yang melahirkan pemikiran-pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta peraturan-peraturannya.

Islam telah menangani al-uqdatul kubra ini, serta telah dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan jiwa. Ditetapkannya pula bahwa untuk memeluk agama Islam tergantung sepenuhnya pada pengakuan terhadap pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh sebab itu, Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu aqidah. Aqidah ini menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Khaliq) yang telah meciptakan ketiganya, serta telah meciptakan segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Bahwasanya Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud, wajib adanya, sebab kalau tidak demikian, berarti Ia tidak mampu menjadi Khaliq. Ia bukanlah makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk. Dipastikan pula bahwa Ia mutlak adanya, karena segala sesuatu menyandarkan wujud atau eksistensinya kepada diri-Nya; sementara Ia tidak bersandar kepada apapun.

Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut: bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan hidup. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Misalnya manusia. Manusia terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi. Jadi, amat jelas bahwa manusia bersifat terbatas. Begitu pula halnya dengan hidup, bersifat terbatas, karena penampakannya bersifat individual. Apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu saja. Dengan demikian, jelas bahwa hidup itu bersifat terbatas. Alam semesta pun demikian, memiliki sifat terbatas. Sebab, alam semesta merupakan kumpulan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Sementara kumpulan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta pun bersifat terbatas. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia, hidup, dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas.

Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak azali. Sebab bila bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian jelaslah bahwa segala yang terbatas pasti diciptakan oleh ‘’sesuatu yang lain”. ”Sesuatu yang lain” inilah yang disebut Al-Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup, dan alam semesta.

Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan kita dapati tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud. Kemungkinan pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Karena, bila benar demikian, tentu Ia bersifat terbatas. Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahwa Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Jika memang demikian berarti Dia sebagai makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Suatu perkara yang jelas-jelas tidak dapat diterima. Oleh karena itu, Al-Khaliq harus bersifat azali dan wajibul wujud. Dialah Allah SWT.

Sesungguhnya siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan –hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diindera– bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab, kenyataan menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Ini saja sudah menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Al-Khaliq Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu bagian dari diri manusia, akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya Allah SWT.

Di dalam Al-Quran, kita jumpai ajakan untuk mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajak untuk turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap benda-benda tersebut serta segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau yang berhubungan dengannya, dalam rangka pembuktian adanya Allah SWT. Dengan mengamati benda-benda tadi, bagaimana satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti tentang keberadaan Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Al-Quran telah membeberkan ratusan ayat yang berhubungan dengan perkara ini, antara lain firman-firman Allah SWT :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal” (Ali Imran 190).

“(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu” (Ar-Rum 22).

“Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah 17-20).

“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan”
(At-Thariq 5-7).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih bergantinya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Al-Baqarah 164).

Banyak lagi ayat-ayat yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda alam dengan seksama, dan melmperhatikan apa yang ada di sekelilingnya maupun yang berhubungan dengan keberadaan dirinya. Ajakan itu untuk dijadikan petunjuk akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.

Memang benar, bahwa iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Pada kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang ia imani. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebathinan, tidak lain akibat kesalahan perasaan hati ini. Karena itulah, Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah-nambah sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi yang keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Oleh karena itu, Islam menegaskan agar selalu menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan atas setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, melarang taqlid dalam masalah aqidah. Untuk itu, Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Ali Imran 190).

Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada Allah SWT. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al-Quran dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya.

Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir, kemudian lewat pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.

Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Kekuatannya terbatas sekalipun meningkat dan bertambah, hingga batas yang tidak dapat dilampauinya lagi; terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan hakekat-Nya. Sebab, Allah SWT berada di luar ketiga unsur pokok alami (alam semesta, manusia, dan hidup) di atas. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Walhasil, ia tidak akan mampu memahami Zat Allah. Perlu digarisbawahi bukan berarti lalu mengatakan “Bagaimana mungkin orang (dapat) beriman kepada Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah ?” Tentu, kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud (keberadaan) Allah SWT. Sementara wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yang meliputi alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga perkara itu, orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, iman terhadap adanya Allah dapat dicapai melalui akal dan berada dalam jangkauan akal.

Lain halnya dengan usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah SWT yang tergolong dalam perkara mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat apa yang ada di luar cakupan kemampuannya, karena perannya amat terbatas. Malah seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya menjadi penyebab keragu-raguan dan kebimbangan.

Sesungguhnya, apabila iman kita kepada Allah SWT telah dicapai melalui proses berfikir, maka kesadaran kita terhadap eksistensi Allah akan menjadi sempurna. Apabila perasaan hati kita (yang timbul dari wijdan, pent.) mengisyaratkan adanya Allah, kemudian dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai suatu tingkat yang meyakinkan. Lebih dari itu akan memberikan pemahaman yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahwa manusia tidak sanggup memahami hakekat Zat Allah, bahkan sebaliknya hal ini justru akan memperkuat iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita juga wajib berserah diri terhadap seluruh perkara yang dikabarkan Allah SWT tentang berbagai hal yang tidak sanggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan karena lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi, yang serba terbatas kemampuannya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal untuk memahami hal semacam ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki manusia.

Adapun bukti kebutuhan manusia terhadap para Rasul, dapat kita lihat dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT dan bahwa beragama adalah sesuatu yang fitri pada diri manusia, karena termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia. Dalam fitrahnya, manusia senantiasa mensucikan Penciptanya. Aktivitas ini biasa dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai tali penghubung antara manusia dengan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan, tentu akan menimbulkan kekacauan ibadah, bahkan dapat menyebabkan terjadinya penyembahan kepada selain Pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu, yang mengatur hubungan ini dengan suatu peraturan yang benar. Hanya saja, aturan ini tidak boleh datang dari manusia. Sebab, manusia tidak mampu memahami hakekat Al-Khaliq (maksudnya tentang perbuatan, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak, pent.) sehingga dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Pencipta. Maka aturan tersebut harus datang dari Al-Khaliq. Dan karena aturan ini harus sampai ke tangan manusia, tidak boleh tidak harus ada para Rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.

Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para Rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan gharizah (naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah suatu keharusan yang sangat diperlukan. Pemuasan semacam ini apabila dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Maka dari itu, harus ada aturan yang mengatur setiap naluri dan kebutuhan jasmani ini. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia. Sebab, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani selalu berpeluang terjadinya perbedaan, perselisihan, pertentangan, dan terpengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Apabila manusia dibiarkan membuat aturannya sendiri, pasti aturan tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan, yang malah akan menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan. Oleh karena itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT melalui para Rasul.

Mengenai bukti bahwa Al-Quran itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW. Dalam menentukan darimana asal Al-Quran, akan kita dapatkan tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu merupakan karangan orang Arab. Kedua, karangan Muhammad SAW. Ketiga, berasal dari Allah SWT saja. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebab Al-Quran adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya.

Kemungkinan pertama yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah karangan orang Arab merupakan kemungkinan yang tertolak. Dalam hal ini Al-Quran sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat :

“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (Hud 13).
Di dalam ayat lain :

“Katakanlah: (’Kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya”
(Yunus 38).

Orang-orang Arab telah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Ini membuktikan bahwa Al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka. Mereka tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, kendati ada tantangan dari Al-Quran dan usaha dari mereka untuk menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua yang mengatakan bahwa Al-Quran itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Muhammad SAW adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad –yang juga termasuk salah seorang dari bangsa Arab– tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Oleh karena itu, jelas bahwa Al-Quran itu bukan karangan Muhammad. Terlebih lagi dengan banyaknya hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW –yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang tawatur, yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits. Namun, ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya sastranya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain. Karena semua itu merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Oleh karena memang tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadits, berarti Al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Sebab, pada masing-masing keduanya terdapat perbedaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya tidak seorang pun dari bangsa Arab –orang-orang yang paling tahu gaya dan sastra bahasa arab– pernah menuduh bahwa Al-Quran itu perkataan Muhammad SAW, atau mirip dengan gaya bicaranya. Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan adalah bahwa Al-Quran itu disadur Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini pun telah ditolak keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya :

“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata: ‘Bahwasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab yang jelas” (An-Nahl 103).

Jika telah terbukti bahwa Al-Quran itu bukan karangan bangsa Arab, bukan pula karangan Muhammad SAW, maka sesungguhnya Al-Quran itu adalah firman Allah, kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya.
Dan oleh karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Quran –yang merupakan firman dan syari’at Allah, serta tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul– maka berdasarkan akal dapat diyakini secara pasti bahwa Muhammad SAW itu adalah seorang Nabi dan Rasul. Inilah dalil aqli tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW, dan bahwa Al-Quran itu merupakan firman Allah.

Jadi iman kepada Allah itu dapat dicapai melalui akal, dan memang harus demikian. Iman kepada Allah akan menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman terhadap perkara-perkara ghaib dan segala hal yang dikabarkan Allah SWT. Jika kita telah beriman kepada Allah SWT yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dijangkau oleh akal maupun tidak, karena semuanya dikabarkan oleh Allah SWT. Dari sini kita wajib beriman kepada Hari Kebangkitan dan Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga dan Neraka, hisab serta siksa. Juga beriman akan adanya malaikat, jin, dan syaitan, serta apa saja yang telah diterangkan Al-Quran dan hadits qath’i. Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), tetapi hakekatnya merupakan iman yang aqli juga. Sebab dasarnya telah dibuktikan oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikannya sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath’i), yaitu apa saja yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan hadits qath’i yaitu hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Quran dan hadits mutawatir, haram baginya untuk mengimaninya (menjadikannya sebagai aqidah). Aqidah tidak boleh diambil kecuali melalui jalan yang pasti.

Berdasarkan penjelasan ini, maka kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah SWT; dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Akhirat. Bila sudah diketahui bahwa penciptaan dan perintah-perintah Allah merupakan pokok pangkal adanya kehidupan dunia, sedangkan perhitungan amal perbuatan manusia atas apa yang ia kerjakan di dunia merupakan mata rantai dengan kehidupan setelah dunia, maka kehidupan dunia ini harus dihubungkan dengan apa yang ada dengan sebelum dan sesudah dunia. Disamping itu, hal ikhwal manusia harus terikat dengan hubungan ini. Oleh karena itu, manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib meyakini bahwa ia akan di-hisab di hari Kiamat nanti atas segala perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Dengan demikian terbentuklah al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada di balik alam semesta, fenomena hidup, dan manusia. Telah terbentuk pula al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dan bahwasannya kehidupan tersebut memiliki hubungan antara apa yang ada dengan sebelum dan sesudahnya. Berdasarkan hal ini terurailah al-uqdatu al-kubra secara paripurna dengan aqidah Islamiyah.

Apabila manusia berhasil memecahkan perkara ini, maka ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang kehidupan ini. Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan sebagai jalan menuju kebangkitan. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya hadlarah yaitu suatu peradaban yang bertitik tolak dari mabda tadi. Disamping menjadi dasar yang melahirkan peraturan-peraturan, dan sebagai dasar berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, dasar bagi berdirinya Islam –baik secara fikrah (ide dasar) maupun thariqah (metoda pelaksanaan bagi fikrah)– adalah aqidah Islam. Allah SWT berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir maka ia telah sesat sejauh-jauh kesesatan”
(An-Nisa 136).

Apabila semua ini telah terbukti, sedangkan iman kepada-Nya adalah suatu keharusan, tentulah wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada syariat Islam secara keseluruhan. Karena seluruh syariat ini telah tercantum dalam Al-Quran dan dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman, tentu ia kafir. Oleh karena itu penolakan seseorang terhadap hukum-hukum syara’ secara keseluruhan, atau hukum-hukum qath’i secara rinci, dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadat, muamalah, ‘uqubat (sanksi), ataupun math’umat (yang berkaitan dengan makanan). Jadi kufur terhadap ayat : “Dirikanlah shalat”, sama saja kufur terhadap ayat :

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah 275).

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Al-Maidah 38).
Atau ayat :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”
(Al-Maidah 3).

Perlu diketahui bahwa iman terhadap syar’iat Islam tidak cukup dilandaskan pada akal semata, tetapi harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT :

“Maka demi Rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa didalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya” (An-Nisa 65).

SUMBER : Kitab Nidzamul Islam (kitab pertama yang wajib dikaji ) pada bab paling awal yakni thariqul Iman.

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar