Rabu, 21 April 2010

Idul Kurban di Tengah Kelaparan Dunia

Idul Kurban di Tengah Kelaparan Dunia
M. Bambang Pranowo GURU BESAR UIN CIPUTAT

Pada 1974, Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat
itu, dalam Konferensi Pangan Dunia pertama di Roma menyatakan bahwa
dalam 10 tahun mendatang tidak akan ada lagi anak pergi ke tempat
tidur dengan perut yang lapar. Pada 2009, 35 tahun kemudian, dalam
konferensi dengan tema yang sama di Roma, Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengumumkan bahwa 1 miliar manusia kini pergi ke tempat tidur dengan
perut yang lapar.

Gambaran ini menunjukkan bahwa dunia telah gagal mengatasi krisis
pangan.
Ke depan, menurut ramalan The Economist (edisi 21 November 2009),
krisis pangan itu akan makin parah. Mulai saat ini hingga 2050, tulis
The Economist, jumlah penduduk akan naik 33,33 persen atau
sepertiganya dibanding sekarang. Namun, kebutuhan pangan akan naik 70
persen dan kebutuhan daging naik 100 persen.
Prediksi ini, The Economist melanjutkan, berdasarkan penilaian positif
dari naiknya tingkat ekonomi negara-negara berkembang yang berakibat
pada naiknya konsumsi karbohidrat dan protein penduduknya. Kondisi ini
jelas akan sangat mengkhawatirkan karena, pada 2050, luas tanah-tanah
pertanian dan peternakan makin berkurang dan pengaruh global warming,
yang menghancurkan pertanian dan peternakan, makin signifikan.

Kita masih ingat, pada 2007 dan 2008, dunia dilanda krisis pangan.
Harga gandum, beras, dan jagung naik luar biasa. Di Pakistan,
misalnya, orang antre makanan di dapur-dapur umum. Thailand, negeri
pengekspor beras terbesar di dunia, saat itu memutuskan tidak
mengekspor beras lagi. Di Eropa Timur, banyak orang kelaparan karena
harga gandum naik tinggi sekali. Di Afrika, ratusan ribu--bahkan
jutaan orang--mati karena kelaparan.

Ini sebuah pemandangan menyedihkan pada 2007 dan 2008. Meski pada 2009
pemandangan antre makanan itu hilang dari layar kaca dan surat kabar,
sesungguhnya krisis pangan masih terjadi. Saat ini di Asia dan Afrika,
seperti dilaporkan PBB, ratusan ribu bahkan jutaan manusia masih
dilanda kelaparan.

Tapi benarkah dunia dilanda kelaparan?
Menurut Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian dari Bangladesh, saat
ini planet bumi sebetulnya masih mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Persoalannya, motivasi ekonomi dan kekuasaan negara-
negara tertentulah yang menyebabkan distribusi makanan berlangsung
tidak adil. Negara-negara kaya, seperti Amerika dan Eropa Barat,
misalnya, lebih suka membuang gandum dan kentangnya ke tengah laut
jika harga barangbarang tersebut anjlok di pasar internasional. Mereka
lebih mendahulukan stabilitas harga yang sesuai dengan yang
diinginkannya (agar tidak rugi secara ekonomi) ketimbang membantu
masyarakat miskin yang lapar di negara-negara berkembang.
Benar apa yang dikatakan Mahatma Gandhi bahwa bumi bisa memenuhi
kebutuhan makan manusia, tapi tidak bisa memenuhi keserakahan manusia.
Dan keserakahan inilah yang membuat miliaran penduduk bumi kelaparan.
Sebagai gambaran, betapa ironisnya fenomena ini ketika miliaran
manusia di Asia dan Afrika pergi ke tempat tidur dalam kondisi lapar.
Di bagian dunia lain, seperti di Amerika dan Eropa Barat, banyak
sekali penduduk yang membuang-buang makanan. Edward, seorang
profesional kelas menengah di Texas, misalnya, seperti ditayangkan
dalam Oprah Winfrey Show di Metro TV beberapa waktu lalu, mencoba
memungut benda-benda dari tempat sampah orang-orang kaya di Amerika.
Ternyata lebih dari sepertiga sampah mereka masih bernilai ekonomi.
Bukan hanya sampah barang-barang elektronik yang masih bisa dipakai,
kata Edward, tapi juga makanan dan minuman dalam kaleng yang mereka
buang pun masih layak untuk di konsumsi.

Gaya hidup "bermewah-mewahan" manusia inilah yang menjadikan orang
lain kelaparan dan bumi makin rusak. Gaya hidup seperti itu harus
dilawan dengan gaya hidup sederhana yang hanya mencukupkan konsumsi
diri sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Di Amerika Serikat,
misalnya, kini muncul sekelompok manusia yang menganut faham
freeganism, sebagai antitesis dari gaya hidup hedonisme yang bermewah-
mewahan tersebut. Dalam situs Oprah Winfrey disebutkan, "Freegans are
people who employ alternative strategies for living based on limited
participation in the conventional economy and minimal consumption of
resources. Freegans embrace community, generosity, social concern,
freedom, cooperation, and sharing in opposition to a society based on
materialism, moral apathy, competition, conformity, and greed."

Jika menelaah bagaimana seorang freegan hidup seperti definisi di
atas, barangkali kelompok ini bisa diidentikkan dengan gerakan tasawuf
modern. Sementara gerakan tasawuf di dunia Islam, misalnya, muncul
sebagai reaksi atas keserakahan dan gaya hidup hedonisme para elite
politik dan ekonomi zaman kekhalifahan Umayyah, gerakan freeganism
muncul sebagai antitesis dari gaya hidup bermewahmewahan kelas
menengah dan atas di Amerika sana. Misi kaum sufi dan freegan dalam
beberapa hal mungkin bersinggungan: menghindari materialisme,
mengembangkan kasih sayang, dan melawan keserakahan.

Di tengah miliaran manusia yang kelaparan akibat keserakahan manusia
di bagian dunia yang lain itu, nilai "pengorbanan" seperti dicontohkan
Ibrahim menjadi sangat kontekstual. Allah memberikan contoh kemuliaan
hati Ibrahim ketika bersedia "mengorbankan putra tercintanya" sebagai
tanda keimanan terhadap-Nya. Jika kita bisa membayangkan betapa
Ibrahim mau mengorbankan "Ismail", yang paling dicintanya, untuk
Allah, kita pun bisa bertanya kepada diri kita: apa yang bisa kita
korbankan untuk Allah? Benar, saat itu Allah mengganti Ismail dengan
seekor kambing, tapi lihatlah ketulusan hati Ibrahim dalam mengikuti
perintah Tuhannya tersebut.

Bagi Ibrahim, Ismail jelas lebih berharga dibanding apa pun. Berapa
pun harta yang dimiliki Ibrahim, tidak ada nilainya dibanding Ismail.
Dan itulah yang dikorbankan Ibrahim. Sekarang bagaimana dengan
pengorbanan kita untuk membuktikan keimanan kita kepada Allah?
Dari perspektif inilah umat Islam seharusnya tidak terjebak pada
simbolisme kurban dengan kambing, unta, atau sapi.
Tapi, jauh lebih dari itu, simbolisme tersebut harus diwujudkan dalam
pengorbanan yang lebih besar dari sekadar memotong kambing dan sapi.
Di tengah miliaran manusia yang kelaparan, umat Islam dituntut untuk
berkorban lebih jauh lagi: berupaya memberikan makanan dan instrumen
mencari makanan (pendidikan, keahlian, dan lain-lain) untuk mereka
yang lapar dan kekurangan dengan berbagai cara yang bisa dilakukannya.
Setiap orang, dengan kemampuan, keahlian, dan profesinya, punya cara
untuk berkorban demi mengatasi kelaparan yang menimpa miliaran manusia
tersebut. Menanam satu pohon pun, bagi orang yang tak bisa berbuat
lain kecuali itu, merupakan upaya pengorbanan untuk mengatasi
kelaparan tersebut.

Akhirnya alangkah baiknya jika kita kembali mengenang hadis Qudsi ini.
"Wahai manusia, kenapa engkau tak memberiKu makanan ketika Aku lapar?"
kata Allah. "Bukankah Engkau tidak pernah lapar ya Allah?" Rasulullah
bertanya. "Benar, Rasul-Ku. Aku tidak pernah lapar. Tapi Aku menyatu
bersama mereka. Mulutnya adalah mulut-Ku. Laparnya adalah lapar-Ku!"
G

http://epaper. korantempo. com/KT/KT/ 2009/11/25/ ArticleHtmls/ 25_11_2009_ 011_002.shtml? Mode=1


Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar