Sabtu, 17 April 2010

::SELAMAT DATANG MATI::

Di tiap zaman orang mengagumi sesuatu. Bisa dengan perasaan harap – cemas, ngeri, atau suka-ria. Sejarah tidak pernah lupa mencatat berapa banyak berhala dan kisah tentang legenda dan tragedi beserta para aktornya. Sebuah ide tentang kemerdekaan, pemenuhan hak-hak secara layak, dan persamaan yang merajai benak para pemuda dan mahasiswa Beijing mendorong mereka berkumpul di Tiananmen pada 1919 ketika menuntut pemerintah mengambil sikap tegas terhadap penjajah Jepang (yang kemudian memelopori tegaknya nasionalisme kuomintang dan Komunisme Mao). Juga di 1989 saat demokrasi terdengar seperti pengurangan jam kerja. Kenaikan upah, dan perbaikan taraf hidup.

Hal yang kurang lebih sama terjadi pada peristiwa Malari (Lima Belas Januari pada 1970-an) dan di depan Trisakti beberapa tahun silam. Bedil menyerang ide yang letaknya di kepala. Apa yang ada di kepala mereka bisa jadi berbeda-beda. Mereka menyuarakan keadilan. Tapi keadilan yang mana? Dalam bentuk apa? Ketika telah diperoleh, mau diapakan keadilan itu? Keadilan tampak abstrak saat itu. Yang tidak abstrak adalah para tentara yang dipersenjatai. Mereka mewakili sebuah kekuatan besar yang selama puluhan tahun dibiasakan tidak terlatih menghadapi kritik dan protes. Klimaks terjadi. Korban tidak terelakkan lagi. Yang tewas pada hari itu dianggap pahlawan. Tidak penting lagi apakah ia memang memasang badannya di depan kekuasaan atau ia tengah lari menyelamatkan diri dari medan lalu tersambar peluru nyasar.Yang penting ia mati. Itulah syarat menjadi pahlawan. Begitu juga mahasiswa yang tewas karena terkena bom. Pemakamannya diiringi lagu-lagu kebangsaan. Ia gugur sebagai pahlawan. Entah apa jasa dan kiprahnya bagi umat manusia.

Pernah seorang dosen menegur saya karena beberapa kali memperbarui janji yang telah disepakati. Kurang lebih ia mengatakan. ” Anda mengacaukan jadwal saya. Saya tidak keberatan Anda membatalkan janji jika alasannya mengenai antara hidup dan mati.” Waktu itu saya cuma terdiam. Mati lagi. Beberapa hari kemudian ketika hendak beranjak dari rumahnya, didepan pintu, saya berhenti untuk menatap matanya dalam-dalam sambil bertanya;

”Apakah tidak ada hal yang lebih penting dari pada sekedar mati?”
”Kenapa, bertanya begitu?”
”Di mana letak istimewanya mati? Toh semua orang akan mati. Saya bisa saja mati detik ini juga, tapi apakah itu istimewa ?”
Dia Cuma tertawa dan mengatakan,”Anda anak baik.”
Rambutnya yang keperakan dan giginya yang tak lagi utuh waktu itu memantulkan sinar matahari.

Di perjalanan pulang, saya memikirkan kata-kata tadi. Mungkinkah kematian merupakan sesuatu yang dikagumi? Kematian itu sendiri ataukah sesuatu yang menempel padanya? Seperti prestise yang tertempel pada sehelai kaus katun bertuliskan DOLCE & GABBANA atau CHANEL, misalnya, yang membuat pemakainya dapat mendongakkan kepalanya lebih tinggi dari seperlunya.


Masih ada lanjutan nya, tunggu ya

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar