Kamis, 29 April 2010

Kisah Seorang Wartawati yang Menyamar, Mengenakan Cadar

Sosok perempuan mengenakan baju abaya hitam lengkap dengan cadarnya menjadi pusat perhatian para pengunjung mall Itäkeskus di kota Helsinki, kota terbesar di negara Finlandia. Tak seorang pun tahu bahwa sosok dibalik niqab itu bukan seorang perempuan Muslim betulan tapi seorang wartawati, non-Muslim, dari surat kabar Helsingin Sanomat, salah satu surat kabar terbesar di kawasan Skandinavia.

Nama wartawati itu Katja Kuokkanen. Ia sengaja menyamar menjadi menjadi perempuan Muslim karena ingin merasakan sendiri bagaimana rasanya mengenakan busana muslim lengkap dengan cadarnya di tengah masyarakat Finlandia yang masih asing dengan agama Islam, bagaimana rasanya ditatap dengan pandangan aneh dan takut dari orang-orang disekitarnya. Kuokkanen menuliskan pengalaman dan perasaannya saat dan setelah mengenakan niqab. Inilah yang ditulisnya …

Niqab dari bahan sifon berwarna hitam kadang melorot dan menutupi kedua mata saya. Suatu ketika saya tersandung dan membentur bahu seorang laki-laki di sebuah toko barang-barang etnik. Laki-laki itu membuat gerakan tangan meminta maaf, tapi dengan sikap tak acuh seperti yang biasa terjadi.

Lalu lelaki itu menengok ke arah saya dan menyadari bahwa saya seorang perempuan yang mengenakan abaya dan cadar, pakaian khas perempuan Muslim. Tiba-tiba laki-laki itu dengan sedikit membungkuk mengulangi lagi permohonan maafnya. Saya mengira dia orang Arab dari dialegnya saat meminta maaf. Saat itu saya merasakah hal yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya karena diperlakukan dengan begitu hormat oleh orang lain.

Dari toko etnis, saya menuju stasiun metro. Ketika saya naik ke sebuah metro berwarna oranye. Saya menerima reaksi yang tak terduga. Seorang lelaki mabuk berteriak kepada tiga temannya di dalam metro yang padat penumpang.

“Hei, lihat itu ada salah satu pemandangan neraka !” teriak lelaki mabuk tadi.

Mendengar teriakan itu, penumpang lain serta merta memalingkan pandangannya, tidak mau melihat ke arah wajah saya yang bercadar. Tapi tiba-tiba seorang perempuan menegur saya, “Barang Anda jatuh,” kata seorang perempuan setengah baya sambil menyerahkan jepit rambut saya yang terjatuh di bangku sebelah.

Saya tidak bisa mengucapkan terima kasih pada perempuan itu, karena kalau saya mengatakan sesuatu, kemungkinan penyamaran saya akan terbongkar.

Lalu, ketika seorang gadis asal Somalia yang bekerja sebagai penjaga toko, membantu saya membetulkan cadar, ia berkata bahwa jarang sekali perempuan Muslim di Helsinki yang mengenakan busana seperti yang saya kenakan. Gadis Somalia itu juga bilang bahwa ia sebisa mungkin menghindari busana warna hitam. Ia menganggap warna hitam sebagai warna yang dramatis dan mengundang pandangan banyak orang.

“Kerudung warna-warni yang cerah lebih bagus,” kata gadis itu seraya mengatakan bahwa kaum perempuan Muslim di Finlandia bebas menentukan sendiri untuk menutup bagian mukanya.

Dan di mall Itäkeskus, saya melihat banyak orang yang memandangi saya dengan tatapan aneh bahkan takut. Seorang lelaki muda hampir saja menumpahkan minuman kaleng yang dipegangnya saat melihat saya dengan raut muka panik.

Saya sendiri mulai membiasakan diri mengenakan abaya dan cadar. Saya mulai merasakan pakaian ini sangat nyaman dan hangat, meski saya agak kesulitan untuk melihat sesuatu dengan jelas karena cadar yang saya kenakan.

Kemudian saya memutuskan untuk pergi ke pasar yang dibuka di area parkir di lantai paling atas mall Puhos. Di penyeberangan jalan, saya bertemu dengan seorang perempuan tua asal Somalia yang dengan pelan mengucapkan “Assalamu’alaikum”.

Saya tersentuh mendengar salam itu. Selama ini saya tidak pernah bergaul dengan perempuan Muslim. Dan saya selalu menerima salam seperti itu dalam banyak kesempatan. Setiap Muslimah dari berbagai usia dan dari berbagai etnis, yang mengenakan busana muslimah selalu mengucapkan “Assalmua’alaikum” saat berpapasan dengan saya. Ketika itu saya tidak mengerti apa arti ucapan itu, sampai saya akhirnya tahu bahwa ucapan itu mengandung doa kesejahteraan dan kesalamatan.

Lalu, seorang lelaki yang sedang berdiri di depan sebuah toko memanggil saya. “Hello ! Hei ! Tunggu!” teriak lelaki tadi. Saya tidak menoleh karena saya pikir seorang perempuan Muslim sangat menjaga kemuliaannya dan tidak akan menjawab panggilan seperti itu.

Beberapa jam setelah berkeliling dengan mengenakan busana abaya dan cadar, saya kembali ke stasiun Metro. Perjalanan saya selanjutnya adalah Kamppi Center.

Selama perjalanan, wartawati itu merenungkan pengalamannya sepanjang hari ini, atas reaksi setiap orang terhadap abaya dan cadar yang dikenakannya dan ia merasakan sendiri bahwa mengenakan abaya dan cadar rasanya tidak seburuk yang orang lain pikirkan. Ia pun tanpa ragu menegaskan, mengenakan abaya dan cadar, “Sama sekali tidak buruk. Jika Anda memakainya, Anda akan merasakan kedamaian.”

Kisah ini menjadi ironi di saat negara-negara Eropa ramai-ramai mulai melarang jilbab dan cadar. Seharunya mereka yang memberlakukan larangan itu, membaca kisah wartawati Helsinki ini sehingga tidak perlu ada kebijakan larangan berjilbab atau bercadar yang sejatinya diberlakukan karena sikap Islamofobia masyarakat Barat. (ln/helsingin online)

Sumber: http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/ketika-seorang-wartawati-menyamar-mengenakan-cadar.htm

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar